Top Social

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Kilas Buku: Big Breasts and Wide Hips

|

Buku ini adalah hasil haul dari booth BBI di IRF tahun 2013. Jadi mungkin sudah sekitar 4 tahun masih dalam kondisi tersegel, yang akhirnya resmi saya buka dan baca tahun ini. Padahal lho ya saya punya 2 buku Mo Yan (Sorgum Merah & Di Bawah Bendera Merah) yang sudah saya lepas segelnya, tetapi belum terbaca. Yak, betul karena malas hehe.

Ngomongin karangan Mo Yan, bagi yang sudah tahu tentang beliau, pastinya sudah mengerti kalau sejarah adalah tema utama dalam setiap ceritanya. Serius, ngeri, sedih, mencekam, itu pasti. Ajaibnya Mo Yan selalu mampu menghadirkan sisi sarkas dan humor dalam ceritanya. Itu yang saya rasakan setelah membaca novel yang akan saya ulas sekarang ini.

Big Breasts dan Wide Hips, jika dilihat dari sampulnya, menampilkan gambar perempuan cantik. Sayang, ceritanya, karena didominasi unsur sejarah, tentu saja tidak melulu menyajikan keindahan dan kebahagiaan. Tokoh utama (dan sentral) dalam novel ini adalah Shangguan Lu (Xuan'er). Cerita mengambil masa pasukan Jepang mulai menduduki daratan Cina, yang ketika itu Shangguan Lu tengah melahirkan anak ketujuh dan kedelapan (kembar) nya. Melewati perjuangan panjang, Yunu (bayi perempuan, anak ketujuh), dan Jintong (bayi laki-laki, anak kedelapan) berhasil lahir dengan selamat. Sayangnya kelahiran anak kembar itu harus disambut dengan kematian ayah dan kakeknya (karena dibunuh oleh pasukan Jepang), dan juga kegilaan neneknya (karena melihat suami dan anak kandungnya terbunuh).

Shangguan Lu sebenarnya sudah menderita sejak lahir. Tanpa ayah dan ibu, ia dirawat oleh paman dan bibinya. Pada umur 17 tahun ia menikah dengan seorang laki-laki mandul dan takut pada ibunya. Sejak itu penderitaan Lu semakin berat. Ia terus menerus menerima caci maki dari ibu mertuanya, dan juga pukulan-pukulan dari suaminya. Anak-anak yang dilahirkan merupakan benih dari banyak lelaki (termasuk pamannya sendiri), yang sayangnya berjenis kelamin perempuan. Hal ini yang membuat sang ibu mertua mengeluh sambil tak lupa melakukan kekejaman kepada Lu.

Suatu ketika, Lu jatuh cinta kepada pastor Swedia yang bermata biru. Darinyalah dia mendapat anak kembar perempuan dan laki-laki. Senang luar biasa itu pasti. Anak laki-lakinya pun menjadi anak kesayangannya. Sayang ia tumbuh menjadi lelaki yang lemah dan sangat kecanduan menyusu.

Novel dengan ketebalan hampir 800 halaman ini menggambarkan situasi politik yang silih berganti yang pernah terjadi di Cina. Mo Yan menjadikan keluarga besar Shangguan Lu sebagai latar belakangnya. Dapat dikatakan berbagai haluan politik berkumpul di sana, mulai dari pasukan Cina yang pro-Jepang, pasukan Cina yang anti-Jepang, hingga pasukan Cina yang komunis (haluan politik Cina sekarang).

Yang saya pelajari adalah setiap revolusi memakan korban. Dan para pemimpin itu kadang tidak peduli berapapun korban yang jatuh. Mereka menyerukan kebaikan haluan politik yang mereka anut. Namun ketika dihadapkan dengan penderitaan rakyatnya, mereka berkata bahwa itulah harga untuk kebaikan negara dan rakyat di masa depan. Entahlah, apakah mereka benar mementingkan rakyat atau malah dirinya sendiri.

Saya mengagumi karakter Shangguan Lu yang tangguh. Memang ia masih bersifat dan berpikir kuno karena lahir pada zaman kekaisaran berkuasa. Ia masih memegang teguh bahwa anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan, walaupun pada akhirnya anak laki-lakinya agak mengecewakannya. Namun Lu adalah sosok yang tidak pernah mengeluh dan selalu siap menghadapi situasi yang paling sulit sekalipun.

Lalu kemana sebenarnya kaisar Cina? Cerita dalam novel ini terjadi kira-kira pada masa kaisar Cina terakhir berkuasa. Pada saat itupun ia hanya menjadi kaisar boneka, sementara situasi politik dan pemerintahan dipegang penuh oleh banyak kubu  secara bergantian, yang pada akhirnya kubu Komunislah yang berkuasa hingga saat ini.

So, Bagi yang menyukai sejarah, saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca.

Data buku

Judul: Big Breasts and Wide Hips
Pengarang: Mo Yan
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi, Cetakan II, Mei 2011
Tebal: 751 halaman

Kilas Buku: Sang Juragan Teh

|

Sebelum saya ulas roman satu ini, saya akan mengingatkan kembali bahwa saya pernah mengulas buku Kisah Para Preanger Planters yang tentu saja sangat berkaitan dengan cerita Hella S. Haasse. Sesungguhnya Sang Juragan Teh adalah sebuah roman, namun bukan fiksi. Segala karakter dan cerita didasarkan pada kumpulan surat dan dokumen mengenai sejarah perkebunan teh di Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini disebutkan oleh Hella (penulis) sendiri pada segmen Ucapan Terima Kasih.

Saya cukup bingung bagaimana akan mengulas buku bagus yang satu ini. Karena jujur saja menulis ulasan dari sebuah buku yang punya rating bagus itu sangatlah sulit. Tapi saya bersyukur sudah pernah membaca sejarah Preanger Planters untuk memahami roman yang satu ini.

Roman Sang Juragan Teh mengambil Rudolf E. Kerkhoven sebagai tokoh utama. Sebagai anak lelaki tertua (ia adalah anak kedua setelah Bertha, anak pertama, yang juga kakak perempuannya), ia memiliki sifat ambisius dan serius, namun juga sangat mengayomi adik-adiknya. Selama berkuliah di Delft, Rudolf betul-betul mempersiapkan dirinya untuk membantu (dan menjadi pengelola perkebunan Arjasari) Ayahnya di Bandung. Sayangnya harapan ia pupus. Ayah maupun keluarganya tidak terlalu antusias dengan kedatangan Rudolf ke Hindia Timur (Indonesia). Ia pun malah diminta membuka lahan perkebunan baru di Gambung, Bogor. Justru adiknya August yang malah menjadi pengelola perkebunan Arjasari, yang lagi-lagi menambah kekecewaan Rudolf terhadap keluarganya. Ia merasa sudah menjadi anak sekaligus pemuda yang baik. Ia pekerja keras, suka berhemat, dan berpikiran maju untuk usahanya. Sayang, tidak ada seorang pun yang (terutama ayahnya) mengapresiasi usahanya ini.

Kisah berlanjut mengenai kehidupan Rudolf beserta istri dan anak-anaknya. Yang menjadi pusat cerita tentu saja soal perkebunan teh (khususnya Gambung), dan juga berbagai masalah dan kebijakan yang berputar di sekitarnya. Yang menarik perhatian saya adalah roman ini berisi banyak pandangan dari bangsa kolonial (Belanda), khususnya pihak non pemerintah, tentang orang-orang Indonesia dan budayanya. Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1870, pemerintah Kolonial membuka kesempatan bagi swasta (warga Eropa, khususnya Belanda) untuk mengelola lahan di beberapa daerah di Indonesia. Sejak itulah keluarga besar Van der Hutch (yang terdiri dari keluarga Kerkhoven, Holle, dan Boscha) menjadi salah satu pengusaha lahan.

Jika selama ini pandangan bangsa Indonesia kepada Belanda penuh dengan kebencian (akibat penjajahan 350 tahun), namun ternyata tidak semua orang Belanda begitu jahat terhadap bangsa Indonesia. Secara garis besar bangsa Belanda di Indonesia terdiri atas dua kelompok yakni pemerintah kolonial (kompeni) dan pihak swasta. Orang-orang dari pihak swasta inilah yang kebanyakan menjadi pihak baik bagi masyarakat pribumi. Contohnya adalah Karel Holle, pengelola perkebunan Waspada di Garut. Ia menjadi teman bagi petani, bahkan bisa dijuluki sebagai bapak petani modern di Indonesia. Ia yang awalnya mengajarkan petani lokal mengolah lahan pertanian sebagaimana harusnya. Karel Holle bahkan bersahabat dengan Haji Mohammad Musa, penghulu sekaligus tokoh Islam di Garut. Ia juga yang memberi kesempatan kepada Haji Musa untuk menerbitkan karya-karyanya (dalam bahasa Sunda / Sastra Klasik Sunda) yang saat itu tentu saja sulit bagi pribumi yang kebanyakan masih bodoh dan percetakan masih didominasi oleh kolonial. Ia dan Haji Musa tentu saja layak mendapat gelar Bapak Sastra Sunda.

Jika merasa tidak familiar dengan Karel Holle, kalian tentu kenal dengan K.A.R. Boscha. Ia merupakan Raja Teh di Priangan, dan juga Bapak Astronomi Indonesia dan merupakan pendiri Obsrvatorium Boscha.  Maka, Boscha dan Holle adalah orang-orang Belanda yang punya kepedulian tinggi terhadap masyarakat pribumi. Mereka sudah melakukan aksi nyata dalam membantu warga lokal, meskipun tidak mampu berbuat banyak mengintervensi kebijakan pemerintah kolonial. Dalam pernyataannya Holle mengungkapkan betapa ia prihatin terhadap masyarakat Sunda:
Dengar Rudolf.... sejak aku tiba di sini selagi masih anak-anak, melihat betapa bertolakbelakangnya kesuburan negeri yang indah ini dan kemiskinan rakyatnya, sungguh sangat menyakitkan bagiku. Tanah Sunda adalah tanah yang terabaikan, didominasi oleh para raja dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka kehilangan kebudayaan mereka sendiri. Sungguh suatu keajaiban mereka masih memiliki bahasanya sendiri. (hlm. 107)
Namun tentu saja sebaik-baiknya sebagian orang Belanda terhadap masyarakat kita, tetap kita tidak setuju dengan monopoli dan dikuasainya negeri ini oleh bangsa asing.

Roman ini memang penuh dengan kejutan. Salah satunya adalah mengenai betapa polos dan lugunya orang-orang pribumi. Dan juga betapa "tidak sopannya" pakaian mereka. Kata Rudolf Kerkhoven ketika pertama kali mengunjungi Batavia:
Kini mereka melaju di sepanjang tepi kanal yang penuh dengan orang-orang yang sedang mandi dan mencuci pakaian. Para wanita yang berdiri dalam air sepinggang, tanpa malu-malu memperlihatkan bahu mereka yang telanjang, dan lebih banyak lagi bagian tubuh yang lain jika sedang mencuci rambut. Rudolf sudah mendengar perkataan orang-orang di kapal yang menggambarkan pemandangan harian kehidupan kaum pribumi di Jawa semacam ini sebagai sesuatu yang memalukan di mata orang-orang Eropa... (hlm. 78)
Saya tertawa membacanya. Dewasa ini banyak orang Indonesia menganggap pakaian ala barat tidak sopan, ternyata pada masa lalu justru orang Indonesia yang "berpakaian terbuka ala barat". Menurut saya itu karena mereka menyesuaikan pakaian dengan iklim tropis yang memang ada di Indonesia. Sementara di Eropa, orang-orang cenderung mengenakan gaun atau jas karena iklim di sana yang cenderung lebih dingin. Jika sekarang ini orang Eropa senang berpakaian terbuka, mungkin karena mereka sudah menganut paham yang lebih bebas. Sementara orang-orang Indonesia kini sudah jauh lebih terpelajar sehingga tidak lagi mandi dan berpakaian terbuka sembarangan di depan orang banyak.

Saya juga sedikit surprised kalau orang Indonesia pada zaman dahulu justru peminum teh hijau, seperti yang biasa diminum orang-orang Jepang. Jadi bangsa kita juga punya budaya menyeruput ocha dengan nikmat di masa lalu. Seperti kata Karel Holle;
Penduduk di sini lebih menyukai teh hijau untuk mereka sendiri, sama seperti di Tiongkok dan Jepang. (hlm. 105)
Sayangnya, seperti kata Eduard Kerkhoven, pasar Eropa tidak tertarik pada Teh Hijau. Sehingga sepertinya karena itulah budaya minum teh hijau tidak berlanjut di kalangan masyarakat pribumi.

Well, saya pikir itulah beberapa kejutan diantara banyak kejutan dalam roman ini. Bagi yang memang menyukai sejarah, pasti akan bersemangat membacanya, seperti saya. Buku ini sangatlah berharga untuk dibaca dan dikoleksi. Karena ini bukan fiksi, dan bukan sekedar roman. Ini sejarah! Yang sangat berkaitan erat dengan masa lalu bangsa kita.

Bintang lima!


Data buku

Judul: Sang Juragan Teh
Judul asli: Heren van de Thee
Pengarang: Hella S. Haasse
Penerjemah: Indira Ismail
Paperback, 440 pages
Published December 3rd 2015 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1992)

Kilas Buku: Pope Joan

|

Buku ini sudah bertahun-tahun ada dalam timbunan saya. Kini setelah berbulan-bulan tidak menambah timbunan baru, saya baru mulai lagi proyek babat timbunan. Yah babat timbunan kali ini ndak pake "dipamerin" dalam bentuk challenge kayak yang sudah-sudah sih, soalnya dulu biasanya cuma posting master post nya aja, abis itu ndak ada hasilnya. Hehe. Semoga babat timbunan kali ini bisa berhasil. :D

Pada awalnya saya tidak terlalu 'ngeh' dengan topik yang akan saya baca, meskipun jelas-jelas judul, gambar sampul, dan sinopsis di sampul belakang sudah menyatakan maksud cerita. Yang saya pedulikan hanyalah tebal buku dan jumlah halaman yang bikin saya berat membacanya, yakni: 736 halaman. Ternyata hal itu bisa mengintimidasi sebegitu dalam ya, sehingga saya menunda membaca buku ini hingga bertahun-tahun lamanya.

Jadi sesuai dengan judulnya, buku ini bercerita tentang Pope Joan, seorang Paus perempuan yang pernah memegang tampuk tertinggi Kristiani dari tahun 853-855 M. Joan, lahir di sebuah desa yang jauh bernama Ingelheim pada tahun 814. Sang Ayah adalah seorang Kanon (pendeta tingkat desa) dan sang Ibu adalah perempuan yang berasal dari Saxon, negeri yang menyembah dewa-dewi Pagan (salah satunya Thor). Ibu Joan termasuk orang yang beruntung karena dibiarkan hidup ketika tentara Kaisar Lothar yang sudah beragama Kristen menyerang kampungnya. Sayangnya ia terpaksa menerima tawaran sebagai isteri seorang Kanon (ayah Joan) supaya tetap hidup. Meski begitu, Gudrun, itu nama Ibu Joan, diam-diam tetap mempercayai dewa-dewi negeri Saxon dan menolak kepercayaan Kristen.

Sejak lahir Joan sudah menjadi anak yang istimewa. Meskipun perempuan, ia sudah mampu membaca dan menulis berkat pengajaran secara diam-diam oleh Kakaknya, Mathew. Hingga akhirnya ia tumbuh menjadi anak perempuan yang haus akan ilmu pengetahuan, alih-alih memasak dan melakukan pekerjaan perempuan lainnya. Singkat cerita perjalanan Joan menjadi seorang yang terpelajar tidaklah mudah. Seringkali ia harus disiksa Ayahnya hampir mati karena ketahuan sedang membaca. Ia bahkan harus rela kabur dari rumah demi mengikuti John (kakak keduanya) yang akan dikirim belajar ke luar kampungnya.

Ide menjadi seorang Paus tidak pernah ada dalam ambisi Joan. Yang ia inginkan hanyalah kebebasan belajar, berpikir, dan bertindak bagi perempuan sepertinya. Tetapi suatu ketika muncul ide untuk menyamar sebagai laki-laki ketika bangsa Viking menyerbu Dorstadt, kota dimana ia dan John bersekolah. Ketika itu John mati sebagai prajurit, sementara Joan yang selamat terpaksa harus menyamar sebagai sebagai kakaknya itu untuk keberlangsungan hidupnya. Sejak itulah ia menempuh takdirnya sebagai laki-laki hingga akhirnya menjadi Paus. Tidak ada yang mengetahui rahasia terdalam Joan hingga takdir yang lain muncul kepadanya.
**
Saya sangat menyukai buku ini, bahkan memberinya 5 bintang. Sungguh hal yang pantas untuk sebuah novel sejarah yang ditulis dengan serius dan berdasarkan penelitian bertahun-tahun lamanya. Lantas apa yang menjadikan novel ini begitu menarik?

1. Tema
Tema tentang seorang Paus perempuan bernama Joan adalah hal yang sangat kontroversial. Sampai saat ini belum ada sejarah lengkap yang mengulas keberadaan Paus Joan. Dunia terbagi atas dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa keberadaan Paus Joan adalah propaganda sebuah kelompok yang ingin merongrong Vatican dan agama Katolik. Pendapat lainnya menyatakan Paus Joan benar adanya dan memang pernah menjadi seorang Paus. Hanya saja bukti-bukti sejarah tentang dirinya dihapus sedemikian rupa hingga tidak akan ditemukan di berkas sejarah manapun, kecuali dalam tulisan Jean de Mailly dan Martin of Opava pada kisaran 1200an.

Yang membuat saya salut kepada penulisnya, Donna Woolfolk Cross, adalah ia menjelaskan dengan cukup fair bagaimana proses penelitian tentang novelnya ini berlangsung. Sejarah tentang Paus Joan pun ia jelaskan apa adanya. Ia juga mengungkapkan pendapatnya tentang beberapa kejanggalan yang menyebabkan kemungkinan sejarah Paus Joan sengaja dimusnahkan. Menurutnya, bukan hal yang tidak mungkin untuk menghapus seorang Joan mengingat pihak kepausan masa itu betul-betul mengerahkan usaha mereka sekeras-kerasnya. Bahkan Napoleon Bonaparte pun dihapus dari sejarah oleh kaum Bourbonis kalau ia pernah menjadi Kaisar Perancis (hal. 723).

2. Feminist
Saya akui novel ini selain bersifat historical fiction, ia juga sangat feminist. Tapi apa yang diperjuangkan oleh tokoh utamanya disini, Pope Joan, memang sangat pantas dilakukan. Meskipun saya sudah tahu jika zaman dahulu adalah zaman jahiliyah dimana kaum perempuan sangat sulit untuk hidup dengan bebas, saya baru benar-benar "melek" setelah membaca buku ini.

Berbagai kisah masa Nabi Muhammad SAW yang menyebarkan agama Islam dengan latar belakang kaum Arab yang sangat jahiliyah sebenarnya sudah saya pahami luar dalam. Para perempuan Arab masa itu punya harapan hidup yang sangat pendek, bahkan sejak lahir mereka punya peluang yang besar untuk dikubur hidup-hidup.

Ternyata, ketidakadilan terhadap perempuan tidak hanya terjadi kepada Bani Quraisy saja, atau perempuan Indonesia saja, namun juga kepada perempuan-perempuan Eropa dan Afrika. Saya kaget ketika perempuan dianggap antek Iblis dengan dalih ayat dari Alkitab (berdasarkan Hawa yang membujuk Adam untuk memakan buah Khuldi atas godaan Iblis). Bahkan darah menstruasi pun dianggap dapat menyebabkan masakan tidak enak, dan berbagai hipotesis aneh lainnya.

Bersyukurlah para perempuan masa kini yang mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal belajar, bekerja, dan bertindak. Tentu saja keadilan itu harus sesuai kodrat masing-masing.
**

Akhir kata, novel ini adalah salah satu novel yang layak baca. Adapun tema yang kontroversial bukan untuk merusak ideologi yang sudah ada, namun membuka kesempatan bagi diskusi-diskusi lanjutan tentang sejarah terkait. Saya merekomendasikan buku ini kepada para pembaca yang memiliki pikiran yang terbuka untuk segala informasi baru. Mengenai perbedaan pendapat untuk hasil akhir adalah hal yang wajar, maka ada baiknya kita saling memahami tentang ragam pendapat itu.

Info buku

Judul: Pope Joan
Pengarang: Donna Woolfolk Cross
Penerjemah: F.X.Dono Sunardi
Peyunting: Vitri Mayastuti
Tebal: 736 halaman
Penerbit: Serambi, Desember 2006 (pertama kali terbit 1996)


Kilas Buku: Kisah Para Preanger Planters

|


Banyak orang yang kurang menyukai buku sejarah. Alasan mereka, sejarah adalah topik yang membosankan. Padahal sejarah merupakan hal yang menarik untuk disimak. Ia bukan sekedar hapalan angka dan lokasi. Ah, mungkin ini cara didikan kita yang sudah membosankan, sehingga sejarah sudah identik dengan angka dan cerita yang rumit. Padahal, lagi, sejarah bisa jadi sama menariknya dengan infotaimen selebritis di televisi. Bahkan lebih menarik, karena sejarah jelas lebih penting dari sekedar gosip.

Buku sejarah yang kali ini akan diulas oleh Kilas Buku adalah "Kisah Para Preanger Planters". Apa itu preanger planters? Sebelum saya tulis penjelasannya, ada baiknya saya paparkan hal lain dulu. Jadi pada zaman VOC masih menjajah, tanah-tanah di Indonesia disewakan kepada para pengusaha Eropa, baik dari negeri Belanda sendiri, ataupun negara Eropa yang lain. Sebenarnya hal ini dilakukan setelah berakhirnya sistem tanam paksa (cultuurstelsel).  Kompeni Belanda merasa merugi dengan hasil produksi yang kurang maksimal, maka diberlakukanlah Undang-Undang Agraria tahun 1870.

Ada 2 kelompok pengusaha Eropa yang berusaha di bidang perkebunan yakni Suikerplanters, dan Preanger planters. Yang pertama adalah pengusaha pabrik gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan yang kedua adalah pengusaha perkebunan teh di Jawa Barat. (hlm. VII)

Kisah tentang pengusaha perkebunan teh, tentu akan dimulai dengan asal muasal bagaimana tanaman teh bisa sampai ke Indonesia. Tanaman teh masuk ke Pulau Jawa dibawa oleh Andreas Cleyer, seorang berkebangsaan Jerman pada tahun 1648. Waktu itu tanaman teh hanya berfungsi sebagai tanaman hias. Dua ratus tahun berselang, yakni pada 1824 barulah pemerintah Belanda mengutus Ph F von Siebold untuk membawa berbagai macam bibit dari Jepang, yang mungkin salah satunya Teh. Dan pada tahun 1827, teh mulai ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut Wanayasa, dan Purwakarta. (hlm. 3-4)

Pelopor pengusaha prianger dari Belanda adalah Guillaume Louis Jacques (Willem) van der Hucth, yang bersama keluarganya berlayar menuju Indonesia tahun 1843. Dari sanalah berkembang keluarga pengusaha perkebunan yanng disegani. Karena keturunan van der Hutch lah (yang kemudian dikenal dengan banyak nama keluarga seperti Holle, Kerkhoven, dan Boscha) yang memang punya ambisi dan kesempatan untuk berusaha di bidang ini.

Untuk membuka perkebunan yang luas tentulah tidak mudah. Banyak binatang buas yang harus diburu seperti gajah dan harimau Jawa yang sekarang sudah punah 😕. Selain itu banyak juga tanah pribumi yang diambil paksa untuk membuka lahan.

Intermezzo saja, pada salah satu foto yang ada dalam buku ini, terdapat foto Eduard Julius Kerkhoven dengan gajah peliharaannya (si Tuku) yang bergading panjang. Panjang gadingnya hampir sama dengan panjang belalainya. Sekarang ini kan sudah langka gajah yang seperti itu. Gading gajah yang sekarang kan rata-rata pendek saja.

EJ Kerkhoven dan si Tuku (commons.wikimedia.org)
Meskipun usaha pembukaan kebun sering menekan orang pribumi, beberapa dari keluarga Kerkhoven ini juga memiliki sisi humanis. Banyak dari mereka yang membangun hal-hal penting yang bermanfaat untuk Indonesia. Seperti KAR Boscha dan RA Kerkhoven yang membanung observatorium Boscha di Lembang, Jawa Barat. KF Holle yang sangat memperhatikan sastra Sunda. Ia berteman dengan Haji Moehamad Moesa yang juga tokoh Garut. Bahkan Haji Moehamad Moesa, dengan bantuan KF Holle, menerbitkan beberapa buku yang menjadi tonggak bagi sastra Sunda. KF Holle sendiri juga menerbitkan buku yang kebanyakan tentang panduan bertani dan berternak. Salah satunya adalah tata cara menanam padi. Saya baru tahu kalau sebelum Holle, petani di Jawa menanam padi dengan menyebar bibitnya begitu saja, bukan menyemainya dulu seperti sekarang.

Yang juga menarik dari buku ini adalah tentang kasak-kusuk hubungan antara laki-laki Belanda dengan perempuan pribumi, dan tionghoa. Dari hubungan mereka lahirlah anak-anak Indo, yang seringkali tidak diakui oleh bapaknya. Ada juga yang dianggap sebagai anak, walaupun sang ibu tetap dianggap orang luar. Kisah ini juga dialami Reggie Baay, penulis buku "Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda" (terjemahan Komunitas Bambu). Ia mengetahui kalau dirinya adalah cicit dari seorang nyai asal Indonesia bernama Moeinah dari amplop yang dirahasiakan ayahnya.

Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk pembaca yang memang menyenangi sejarah, khususnya tentang Jawa Barat. Bisa jadi dari buku ini malah tertarik untuk membaca novel sejarah karangan Hella S. Haasse berjudul "Heren van de Thee" yang juga bercerita tentang preangar planters.

4 bintang untuk buku ini.

Data buku

Judul: Kisah Para Preangar Planters
Pengarang: Her Suganda
Tebal: 180 halaman
Penerbit: Kompas, Mei 2014
ISBN: 9789797098261

Kilas Buku: Mata Hari (The Spy)

|


Seorang perempuan Belanda bernama Margaretha Zelle  menjadi penari eksotis di benua asalnya. Bukan hanya karena ia memang senang menari, melainkan juga untuk mencari kehidupan yang layak untuknya. Namanya diubah menjadi Mata Hari. Itu nama panggungnya. Nama yang berasal dari timur dan memang sesuai dengan tarian yang ia bawakan di panggung-panggung teater di Paris.

Mata Hari berjaya dengan cepat. Ia berhasil membius semua penontonnya, laki-laki ataupun perempuan. Hanya satu kesamaan di antara para penonton: mereka sama-sama berasal dari kalangan atas. Inilah yang menjadi sumber pundi-pundi perempuan itu. Ia pun semakin betah tinggal di Paris. Kota itu merupakan impiannya selama ini; nyaman, jauh dari perang, dan cocok dengan kehidupannya yang glamour.

Sayangnya kejayaan Mata Hari juga jatuh dengan cepat, seiring bertambahnya usia dan pudarnya kecantikannya. Tahun 1914 - 1917 adalah puncak masalah dari semua kesulitan yang pernah ia hadapi. Negara-negara di Eropa kala itu dilanda perang dunia. Semua pihak berada dalam kondisi saling curiga. Tiada yang tahu siapa lawan, siapa kawan. Mata Hari yang sangat membutuhkan uang untuk mengembalikan kehidupannya yang nyaman dulu bersedia menyetujui segala yang ditawarkan kepadanya dengan bayaran yang maksimal. Akhirnya ia mendadak ditugaskan menjadi agen rahasia oleh dua negara sekaligus. Cerdiknya, ia tak pernah menjalankan tugas itu sama sekali. Yang ia inginkan hanya uangnya. Status mata-mata yang disematkan kepadanya tinggallah nama.

Namun musuh membutuhkan seseorang yang dijadikan musuh bersama. Harus ada yang dikorbankan untuk menyudahi perang. Maka pada tahun 1917 Mata Hari ditangkap di hotel tempatnya menginap. Meski tidak ada bukti yang jelas, Mata Hari tetap tidak bisa lepas dari sangkaan sebagai mata-mata.

Siapa Mata Hari?

Saya rasa sudah banyak pembaca yang mengetahui tentang profil Mata Hari. Ia hanyalah perempuan biasa yang hidup sulit di masa mudanya. Ia sempat tinggal di Indonesia selama beberapa tahun karena menjadi isteri untuk seorang komandan Belanda, Rudolph MacLeod. Sayangnya pernikahannya pun juga tidak bahagia.

Paulo Coelho memang tidak menceritakan secara detil kehidupan Mata Hari sebelum ia menjadi penari eksotis. Walaupun sebenarnya Mata Hari mendapat inspirasi dan bekal ilmu tarian eksotisnya itu dari tarian tradisional Jawa yang ia pelajari sewaktu tinggal di Malang. Memang dia tidak menarikan tarian Jawa sewaktu di Eropa. Ia merekontruksi ulang tarian tersebut dengan imajinasinya sendiri dan menyebutnya tarian eksotis dari timur.

Paulo menulis kisah Mata Hari langsung ke inti masalah. Yang ia tekankan memang seluk beluk perempuan itu ketika terlibat ke dalam kehidupan pelik kalangan atas dan pemerintah. Berbekal fakta dan riset terkait kasus Mata Hari, Paulo berhasil menceritakan ulang dengan baik.

Kini Mata Hari menjadi kisah misterius yang terus dikenang zaman. Banyak tulisan baik itu sepotong artikel hingga buku yang menulis ulang sejarah Mata Hari. Seolah-olah dunia berduka dan menyesali diri sendiri yang tidak mampu melepaskan perempuan itu dari takdir buruknya.

Pada akhirnya buku ini layak dibaca mereka yang mencari fiksi alternatif yang berpadu dengan sejarah. Ah, sebut saja dengan fiksi sejarah. :D

Tiga bintang.

Data buku

Judul: Mata Hari (The Spy)
Judul asli: A Espia
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Lulu Wijaya
Tebal: 192 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2016

Kilas Buku: Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir (Seri Buku TEMPO: Tokoh Militer)

|


Awal

Sudirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga pada 24 Januari 1916. Sebagai anak dari seorang asisten Wedana, Sudirman mendapatkan kesempatan bersekolah di HIS, lalu MULO, dan sempat melanjutkan di Hollandshe Indische Kweekschool (HIK) alias Sekolah Guru Bantu di Solo walaupun tidak selesai (h. 65).

Semenjak kecil Sudirman sudah aktif di organisasi kepemudaan. Ia pernah aktif dalam organisasi kepanduan di bawah bendera Muhammadiyah, Hizbul Wathan (hal. 61).  Pada usia 17 tahun, Soedirman menduduki posisi mentereng: Menteri Daerah Hizbul Wathan Banyumas - kini setingkat ketua kwartir daerah (h. 67).

Masa Penting

Sebagai seorang panglima besar, Sudirman tidak pernah menempuh sekolah formal kemiliteran. Ia hanya lulusan peserta pelatihan perang bentukan Jepang. Sudirman masuk PETA (pasukan pembela tanah air), kesatuan tentara bentukan Jepang, angkatan kedua pada tahun 1944. Ia hanya berlatih dua bulan untuk menjadi daidancho di Cilacap.

Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, Sudirman yang kala itu 29 tahun terpilih sebagai pemimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat) secara aklamasi. Ia mengalahkan Oerip Sumohardjo yang saat itu berusia 57 tahun. Dan sebulan kemudian, ia dilantik sebagai Panglima Besar oleh Presiden Soekarno dan wakilnya, Hatta.

Tahun 1948 Sudirman masuk gunung dan hutan untuk bergerilya menolak berdialog dengan Belanda. Sementara Soekarno - Hatta ditawan Belanda di Istana kepresidenan di Yogya.

Kejutan-kejutan

Membaca sejarah merupakan keasyikan tersendiri. Apalagi ketika kita mendapatkan sesuatu hal yang tidak pernah kita tahu, bahkan hal yang kontroversial.

Awalnya, saya berpikir, ketika merdeka, Indonesia akan langsung berbahagia lahir dan batin. Ternyata salah. Bangsa Indonesia masih terserak-serak. Banyak pasukan yang belum bersatu, bahkan banyak orang yang mengangkat diri sendiri seorang jenderal walaupun itu hanya karena berhasil merebut jip Belanda. Antar tentara pun tidak seratus persen akur. Banyak kubu, banyak kepentingan.

Bahkan pimpinan politik dan pimpinan tentara pun banyak menciptakan gesekan yang tak jarang membuat situasi tegang. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan orde baru dikuasai sepenuhnya oleh kubu tentara (bahkan tega tidak mengikutsertakan Hatta dalam kepemimpinan orde baru). Mengetahui hal ini lambat laun saya mulai mengerti pola sebenarnya dan mengapa Sudirman sangat dipuja (bahkan ada kesan dimanfaatkan oleh para penerusya). Dan.. apakah ada yang menyadari jika ada monumen Sudirman yang dibangun dengan megah di Pacitan? Mungkin.. kota itu ada kaitan dengan gerilya atau perjuangannya, err tapi Pacitan bahkan bukan kota kelahiran Sudirman. Yang saya tahu Pacitan adalah kota kelahiran salah satu presiden Indonesia. Well.. well.. ~senyum simpul. :)

Seperti sejarah Sudirman kali ini. Saya dan mungkin anak-anak yang lahir di jaman orde baru menganggap Sudirman adalah sosok yang tanpa cacat dan benar-benar mengagumkan. Ternyata dugaan saya salah. Sudirman bukanlah panglima besar yang sempurna. Banyak hal-hal yang mungkin kalian tidak mau melekat pada diri Sudirman. Tapi ya itulah adanya Sudirman, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ialah si Panglima Besar.

Sudirman yang cungkring itu ternyata perokok berat. Dan dari sanalah asumsi kita terhadap sakitnya si panglima dimulai. Ia merupakan penderita sakit paru-paru yang akut dan bahkan pasien yang nakal karena seringkali susah meninggalkan rokok meski sedang sakit.

Sudirman yang cungkring itu ternyata juga klenik. Banyak orang yang percaya ia mampu menjatuhan pesawat Beanda hanya dengan sekali tiup merica bubuk.

Well, kurang lebihnya Sudirman, sudah sepatutnya kita tetap menganggap beliau sebagai panglima besar. Dan saya pun masih mengaguminya hingga kini.


Informasi buku

Judul: Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir (Seri Buku TEMPO: Tokoh Militer)
Pengarang: Tim Buku TEMPO
Tebal: Paperback, 176 halaman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012

Kilas Buku: Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)

|

Judul: Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Genre: Fiksi Sejarah
Tebal: 535 halaman
Penerbit: Lentera Dipantara, 2005 (pertama kali terbit 1975)

Sinopsis:
Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah, Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." (goodreads)

----

Pada awalnya saya ogah-ogahan mulai membaca buku ini. Saya berpikir buku ini akan seperti roman jadul semacam pujangga lama yang kadang membosankan dibaca. Namun ternyata tidak. Dimulai dari kalimat pertama, saya merasa seperti ada yang menarik-narik untuk terus mengikuti cerita Minke. Sihir! Ya, bisa jadi. Kata-kata yang disusun dengan baik, berdasarkan pengalaman menulis dan sejarah yang baik tentu akan menjadi sihir tersendiri bagi para pembaca.

Buku ini tak ubahnya macam sejarah Indonesia pada masa kolonial di awal abad 20. Ketika itu, para pribumi memang masih banyak yang bodoh, namun setidaknya sudah banyak yang bersekolah walau terbatas pada kalangan priyayi saja. Minke termasuk kalangan priyayi, sehingga ia dapat bersekolah hingga jenjang HBS.

Dari Bumi Manusia saya mendapatkan beberapa kategori karakter yang hidup pada masa itu, yakni;

  • pribumi miskin yang bodoh dan tidak punya kekuatan untuk melawan, 
  • pribumi priyayi (pejabat) yang menjilat orang kulit putih,
  • pribumi terpelajar dan sadar akan perjuangan demi keadilan dan persamaan derajat manusia, 
  • orang kulit putih yang merasa superior pada setiap kesempatan, 
  • dan orang kulit putih yang mengerti akan persamaan hak dan senang memberi kesempatan kepada pribumi untuk menjadi pribadi yang lebih maju.
Maka dari sana saya dapat mengambil kesimpulan, bisa jadi perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonial berlangsung begitu lama karena kesadaran akan kebersamaan dan hak belum sepenuhnya merata pada bangsa kita. Di satu sisi ada kalangan yang masih merasa superior, dan di sisi lain ada kalangan yang sadar bahwa perjuangan melawan kolonial harus dilakukan bersama-sama, tidak memandang tinggi rendahnya kedudukan. Dan kalangan yang kedua ini tidaklah sebanyak kalangan yang pertama sehingga memungkinkan lambatnya kemerdekaan.

Sementara mengenai Nyai Ontosoroh dan puterinya, Annelies Melema, mereka berdua adalah karakter yang berbeda. Nyai Ontosoroh, berbekal pengalaman makan asam-garam dan pahit-manis kehidupan, bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan disegani. Sementara Annelies, tumbuh menjadi karakter yang kekanak-kanakan di bawah bayang-bayang ibunya. Yah, meski sebenarnya Annelies termasuk anak yang cekatan, pintar, dan bertanggung jawab.

Perjuangan Nyai Ontosoroh dan Minke melawan keluarga suaminya sendiri merupakan pengadilan yang tidak berimbang. Namun yang patut diambil dari kondisi mereka adalah, sikap yang tidak mau berdiam diri dan tidak patah semangat. Mereka tetap berjuang meskipun hukum tidak pernah memihak kaum pribumi. Hukum adalah untuk orang-orang kulit putih. Hukum sangat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. *sigh*

Buku ini saya rekomendasikan untuk para pembaca yang ingin mendapat gambaran tentang masa kolonial awal abad 20. Meski hanya fiksi, namun Pram (sang penulis) menuliskannya berdasarkan sejarah yang ada. Hal ini dapat terlihat betapa dalam pengetahuan dan risetnya terhadap alur cerita.

5 bintang.

Kilas Buku: Amba || Tebak Secret Santa 2014

|

Judul: Amba
Pengarang: Laksmi Pamuntjak
Genre: Historical Fiction, Romance
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan keempat edisi baru, Oktober 2013
Tebal: 578 halaman

Sejarah G30S yang saya tahu hanya melalui film tentang kekejaman PKI yang diputar setiap tahun pada tanggal 30 September. Pada saat itu pula saya pun akan uring-uringan. Menolak menonton tv semalaman. Namun juga akan mati gaya karena bosan tidak ada hal menyenangkan sebelum berangkat tidur. Sejujurnya saya pun tidak pernah melihat secara detail seperti apa film tersebut. Yang saya lihat sekilas hanyalah para jenderal yang diburu, dibunuh, kemudian mayat diseret-seret. Ah, andai saja dulu ada KPI, maka mungkin saja tayangan itu sudah dilarang karena ada aksi kekerasan yang tidak baik ditonton anak-anak. Tapi kalaupun ada KPI, belum tentu juga tayangan tersebut dihentikan. Yah kalian tahu deh untuk apa tujuan tayangan rutin tersebut.

Hasilnya, saya pun tumbuh dengan rasa takut setiap kali mendengar kata-kata PKI. Saya hanya tahu dari sejarah versi orde baru kalau komunis merupakan bahaya laten. Sebagai anak kecil, saya tidak mengerti kata 'laten'. Yang saya pahami, komunis tidak mengenal agama. Dan itulah yang saya takuti. Hmm, padahal atheis juga tidak mengenal Tuhan. Anehnya saya tidak takut dengan kata 'atheis'.

Syukurlah tayangan tersebut sudah dihentikan sejak lama. Sejak saya kecil juga sih, walau saya kurang tahu pada tahun berapa tayang tersebut dihentikan. Dan ketika tayangan tersebut tidak ada lagi, hati saya rasanya plong. Seperti ada suatu hal jelek yang diangkat dari hidup saya. Saya cuma benci tayangan itu beredar. Mengerikan. Dan sejak itu pula saya tidak lagi menengok sejarah soal PKI. Yang saya cuma bawa dari sejarah itu adalah satu hal: PKI bahaya laten.

Amba. Novel ini membawa saya kembali menengok masa lalu. Saya tidak bermaksud untuk berjuang melawan lupa. Saya hanya ingin baca. Penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada tahun-tahun mengerikan itu lewat sebuah novel. Siapa sebenarnya yang melakukan kudeta? Si partai terlarang itu ke presiden 1? Atau si presiden 2 yang ketika itu masih menjadi tentara ke presiden 1? Well, saya cuma menduga-duga. Yang jelas Amba adalah andalan saya untuk menyelam ke masa suram itu.

Amba, Bhisma, dan Salwa. Nama-nama itu berasal dari cerita Mahabharata. Amba yang dijodohkan dengan Salwa, harus dicuri hatinya oleh Bhisma. Salwa tersakiti, tidak pernah ingin Amba kembali. Pada akhirnya Amba pun tetap sendiri. Bhisma juga menolaknya karena bersumpah tidak akan pernah kawin selama hidupnya.

Mengambil nama dan karakter diatas, cerita Amba dibuat. Tokoh-tokoh pewayangan itu menjelma dalam ceritanya sendiri pada tahun suram 60-an. Amba dibuat menjadi gadis yang serba ingin tahu, cerdas, dan arif bahkan sejak ia kecil. Sementara Salwa, dijadikan tunangan Amba yang setia. Dan Bhisma adalah seorang dokter yang tampan, dan bersinar. Kesamaan dari tiga orang itu adalah, mereka sama-sama tidak berpihak kepada siapapun.

Selanjutnya berbagai peristiwa nyata pada tahun 65 diulas balik dari sisi Amba dan Bhisma. Kediri yang mencekam, juga rusuhnya penyerbuan Uiversitas Res Publica di Yogyakarta. Dan berlanjut ke Pulau Buru, pulau dimana orang-orang yang dianggap komunis ditahan. Mereka bukan cuma ditahan, namun juga dikaryakan. Di bawah senapan, mereka bahu membahu membabat rumput dan sabana untuk membuka sawah dan ladang.

Ada kabar Bhisma mati di Pulau Buru. Hal itu yang membuat Amba menuju pulau tersebut untuk mencarinya. Hidup atau mati. Entah bagaimana nasib Amba. Apakah pada akhirnya ia akan menemukan jalan pulang kepada kekasihnya?

Amba adalah novel yang kaya sejarah. Ia menyesakkan info-info yang sebelumnya tidak pernah saya tahu. Ia membuka jalan saya pada sekelumit sejarah yang ternyata pernah ada. Ia tertulis dengan halus, berbunga, dan penuh gairah.

Sayangnya, meski yang saya baca adalah edisi yang diperbarui, tetap saja ada kesalahan tulis (typo). Pada halaman 107, nama-nama adik kembar Amba tertulis sebagai Amba dan Ambalika. Padahal seharusnya Ambika dan Ambalika. Sepele sih, tapi cukup mengganggu pembaca.

Satu hal lagi yang menjadi masukan saya, bahwa alangkah baiknya jika penulis menambahkan semacam glossary pada halaman terakhir. Karena saya sadari jika ada beberapa istilah, singkatan, dan akronim yang kurang saya pahami. Dan akhirnya saya mendapat bantuan dari internet untuk hal ini.

Tebak Santa!

Nah, saatnya tebak Santa nih. :)

Berdasarkan hasil analisaku, mulai dari Baymax, Tristan, 130182, maka tidak terbantahkan bahwa santa saya tahun ini adalah... Mbak Orin! :D

Nah, bener tak mbak? ;)

Kilas Buku: Daughter of Fortune

|

Judul: Putri Keberuntungan
Judul Asli: Daughter of Fortune
Pengarang: Isabele Allende
Penerjemah: Eko Indriantanto
Genres: Historical Fiction, Romance
Penerbit: Gramedia, 2009 (pertama kali terbit 1999)
Paperback, 550 halaman

1849. Kabar tentang ditemukannya emas di California menyebar luas, melintasi batas-batas negara dan benua. Jutaan orang terjangkit Demam Emas. Para pemuda yang tergiur janji dan cerita-cerita tentang emas meninggalkan keluarga serta kekasih mereka tanpa pikir panjang. Daerah baru terbuka luas bagi para pendatang.

Eliza Sommers berusia enam belas tahun, jatuh cinta sepenuh hati, dan memulai perjalanan hidupnya. Meskipun belum pernah meninggalkan Valparaiso, Chili, Eliza memutuskan untuk mengikuti jejak kekasihnya yang berburu emas di California, ke daerah barat yang ganas. Dengan bantuan sahabat dan penyelamatnya, si dokter Cina Tao Chi'en, Eliza hidup di tengah masyarakat yang belum mengenal peraturan. Perjalanannya untuk mencari sang kekasih perlahan berubah arah, sampai Eliza harus memutuskan siapa cinta sejatinya. (goodreads)

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, 1843 - 1848 yang digunakan penulis untuk memperkenalkan para tokoh utama (keluarga Sommers) dan detil sejarah Valparaiso, kota di Chile yang menjadi bagian dari cerita. Disini kehidupan Eliza dan bagaimana ia tumbuh besar dibawah pengawasan bibinya, Miss Rose dipaparkan.

Bagian kedua yakni tahun 1848 - 1849. Pada bagian ini setting cerita mulai beralih dari Valparaiso menuju Cina dan sejarah kekalahannya dari Inggris. Allende menceritakan tentang Cina karena ia bagian dari kisah hidup Tao Chi'en yang kemudian akan menjadi sahabat Eliza. Tentu saja ia juga menceritakan masa lalu si dokter Cina sebagaimana ia menceritakan masa lalu Eliza. Tak lupa California dijadikan bahasan tersendiri dalam bagian kedua ini. California, Kota yang pada awal perkembangannya merupakan kota bertabur emas, mulai mendapat banyak imigran sejak emas ditemukan pada 1849. Kesanalah orang-orang Chile termasuk Joaquin, kekasih Eliza pergi untuk menambang emas. Dan kesana pulalah Eliza pergi untuk mencari kekasihnya.

Bagian ketiga, tahun 1850 - 1853. Masa inilah masa-masa penentuan bagi Eliza untuk memperbaharui tujuan dirinya berada di California. Apakah ia akan tetap berada dalam keraguannya dan terus mencari kekasihnya ataukah ia akan menikah dengan dokter Cina sahabatnya? Pada bagian ketiga ini saya semakin dibuat penasaran dengan keberadaan Joaquin, apalagi sejak Jacob Freemont membuatnya tenar seolah-olah ia adalah legenda yang hanya dikenal namanya namun tidak pernah diketahui keberadaannya.

Yang saya sukai dari novel ini adalah gaya Allende yang sangat mendetil dalam menggambarkan bagian sejarah yang terkait dengan cerita. Sehingga secara tak langsung saya bisa sekaligus membaca sejarah Chile, Cina dan California.

Novel ini menunjukkan sisi feminimisme lewat karakter Eliza dan Rose Sommer dan juga Paulina. Mereka adalah perempuan-perempuan yang feminim, lemah lembut, tahu bagaimana bekerja sebagai perempuan namun mandiri. Kemandirian yang ditonjolkan inilah yang menunjukkan betapa mereka sanggup mengatur hidup mereka sendiri dan bahkan memberi pengaruh kepada orang-orang di sekitar mereka.

Saya suka buku ini. Tertarik membacanya? Yuk... :)


Ulasan ini untuk:
TBBR Mbak Maria
IRRC 2014 Sulis
Lucky No. 14 Mbak Astrid
New Author RC Ren
Posbar BBI Tema Oprah's Book Club

Kilas Buku: The Heike Story

|

The Heike Story: Kisah Epik Jepang Abad Ke-12
Oleh Eiji Yohikawa
Paperback, 750 halaman
Juni 2010, Zahir Books

Seperti biasanya Yoshikawa menulis cerita, ia akan menulis sejarah fiksi tentang negerinya. Kisah kali ini bercerita tentang klan Heike, keluarga samurai terpandang yang sempat mendapatkan kejayaan se-seantero Jepang. Kejayaan yang didapatkan ini tidak mudah, karena Heike bukanlah kasta bangsawan, melainkan prajurit. Seperti klan samurai lainnya, klan Heike harus bertatih-tatih melewati masa sulit. Disini para pembaca akan disuguhkan betapa memprihatinkan kehidupan klan Heike di awal cerita. Selanjutnya, perjuangan dan kesetiaan mereka terhadap kaisar membawa mereka ke puncak kekuasaan setahap demi setahap.

Memasuki cerita ini, para pembaca akan mulai merasakan atmosfir Jepang pada abad kedua belas. Dimana pada masa tersebut Jepang klasik sibuk membangun negerinya dengan Kyoto sebagai salah satu pusat kekuasaan. Dari sini saya menangkap ada tiga elemen yakni Bangsawan, Samurai dan Biksu yang mengelilingi tahta, harta dan kekuasaan Jepang. Mereka saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh kaisar. Sementara rakyat kecil hanya bisa menonton dan bermain sebagai cameo.

Cerita ini ditulis dengan sangat detail dan brilian. Hanya saja kelemahannya adalah terlalu banyak karakter yang bisa jadi membuat pembaca kurang bisa mengingat siapa-siapa saja tokoh yang berperan begini atau begitu. Terkadang sangkin banyaknya tokoh, penerjemah bisa salah menyebutkan nama untuk suatu peranan cerita. Hal ini juga terjadi dalam novel ini yang mana saya menemukan kesalahan menuliskan nama, yang mungkin saja saya salah baca. Tetapi kesalahan itu lagi-lagi bisa dimaafkan dengan cerita dan sejarah yang menarik.

Novel ini saya rekomendasikan untuk para pecinta sejarah dan juga untuk para Japan Freak. Jangan cuma anime Jepangnya saja yang digandrungi, sejarah Jepangnya juga dipelajari pelan-pelan, bakal menambah pengetahuan kan? :)

Baiklah begitu saja review saya kali ini tentang cerita bersejarang klan Heike. Novel ini diikutsertakan pada Yoshikawa RC yang diadakan oleh Mas Tezar, Read Big oleh Mbak Desty dan What's in a Name yang diadakan oleh Ren.

Kilas Buku: Kamus Khazar

|
Kamus Khazar
Judul Asli: Dictionary of the Khazars
Penulis: Milorad Pavic (terjemahan dari Christina Pribicevic-Zoric dari buku aslinya yang berbahasa Serbia-Kroasia)
Alih Bahasa: Noor Cholis
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Terbit: Juni 2009
Tebal: 500 halaman

Suku bangsa Khazar adalah sebuah suku yang pernah berjaya di masa lalu dengan kekuatan dan pengaruh yang besar. Sayangnya Khazar tidak pernah lama bertahan menjadi besar. Sejak mereka berganti kepercayaan dari paganisme ke salah satu dari 3 agama besar di dunia, kekuatan dan pengaruhnya memudar. Jumlah mereka semakin sedikit dan akhirnya semakin berbaur dengan suku bangsa lain dan kemudian punah. Entah masih ada atau tidak orang yang berdarah Khazar saat ini, namun sepertinya sudah semakin sulit dicari. Begitu juga dengan sejarahnya, yang sangat sedikit tercatat dalam literatur. Novel "Kamus Khazar" ini merupakan perpaduan sastra, budaya, sejarah dan ensiklopedi. Ia menyingkap cerita Khazar di masa lalu dengan gaya cerita rakyat yang ensiklopedi.

Kilas Buku: Gajah Mada

|
Gajah Mada #1
Penulis: Langit Kresna Hariadi
Terbit: 2004
Penerbit: Tiga Serangkai
Tebal: 582 halaman


Pada kesempatan ini, saya menulis resensi sebuah novel fiksi sejarah yang berjudul Gajah Mada. Novel ini berkisah tentang Gajah Mada yang legendaris karena usahanya menyatukan wilayah nusantara di bawah kerajaan Majapahit. Novel yang akan saya bahas ini merupakan seri pertama dari lima buah novel yang menceritakan kisah Gajah Mada dari awal menjadi pasukan Bhayangkara hingga Perang Bubat. Baiklah, mari kita mulai saja.

Kilas Buku: Taiko

|
Taiko
Penulis: Eiji Yoshikawa
Alih Bahasa: Hendarto Setiadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: September 2003
Tebal: 1142 halaman


Pada tulisan ini, saya akan membahas tentang novel bertema sejarah. Novel yang akan saya bahas kali ini adalah sebuah novel yang sangat tebal berjudul Taiko karya Eiji Yoshikawa. Inti cerita ini adalah kisah sejarah penyatuan Jepang pada dekade abad 16. Saat itu, Jepang terbagi menjadi beberapa daerah kecil yang dipimpin oleh marga/keluarga tertentu. Pada masa itu, kekacauan terjadi di mana-mana akibat perebutan kekuasaan di antara keluarga-keluarga penguasa tersebut. Di tengah kekacauan tersebut, ada tiga buah tokoh yang sama-sama ingin mempersatukan Jepang. Mereka adalah Oda Nobunaga, Tokugawa Ieyashu, dan sang Taiko: Toyotomi Hideyoshi.  Ketiga tokoh ini memiliki watak yang berbeda, seperti yang dituliskan dalam pembuka novel ini:

Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?
Nobunaga menjawab "Bunuh saja!"
Hideyoshi menjawab "Buat burung itu ingin berkicau"
Ieyasu menjawab "Tunggu"

Custom Post Signature