Top Social

Kilas Buku: Sang Juragan Teh

|

Sebelum saya ulas roman satu ini, saya akan mengingatkan kembali bahwa saya pernah mengulas buku Kisah Para Preanger Planters yang tentu saja sangat berkaitan dengan cerita Hella S. Haasse. Sesungguhnya Sang Juragan Teh adalah sebuah roman, namun bukan fiksi. Segala karakter dan cerita didasarkan pada kumpulan surat dan dokumen mengenai sejarah perkebunan teh di Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini disebutkan oleh Hella (penulis) sendiri pada segmen Ucapan Terima Kasih.

Saya cukup bingung bagaimana akan mengulas buku bagus yang satu ini. Karena jujur saja menulis ulasan dari sebuah buku yang punya rating bagus itu sangatlah sulit. Tapi saya bersyukur sudah pernah membaca sejarah Preanger Planters untuk memahami roman yang satu ini.

Roman Sang Juragan Teh mengambil Rudolf E. Kerkhoven sebagai tokoh utama. Sebagai anak lelaki tertua (ia adalah anak kedua setelah Bertha, anak pertama, yang juga kakak perempuannya), ia memiliki sifat ambisius dan serius, namun juga sangat mengayomi adik-adiknya. Selama berkuliah di Delft, Rudolf betul-betul mempersiapkan dirinya untuk membantu (dan menjadi pengelola perkebunan Arjasari) Ayahnya di Bandung. Sayangnya harapan ia pupus. Ayah maupun keluarganya tidak terlalu antusias dengan kedatangan Rudolf ke Hindia Timur (Indonesia). Ia pun malah diminta membuka lahan perkebunan baru di Gambung, Bogor. Justru adiknya August yang malah menjadi pengelola perkebunan Arjasari, yang lagi-lagi menambah kekecewaan Rudolf terhadap keluarganya. Ia merasa sudah menjadi anak sekaligus pemuda yang baik. Ia pekerja keras, suka berhemat, dan berpikiran maju untuk usahanya. Sayang, tidak ada seorang pun yang (terutama ayahnya) mengapresiasi usahanya ini.

Kisah berlanjut mengenai kehidupan Rudolf beserta istri dan anak-anaknya. Yang menjadi pusat cerita tentu saja soal perkebunan teh (khususnya Gambung), dan juga berbagai masalah dan kebijakan yang berputar di sekitarnya. Yang menarik perhatian saya adalah roman ini berisi banyak pandangan dari bangsa kolonial (Belanda), khususnya pihak non pemerintah, tentang orang-orang Indonesia dan budayanya. Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1870, pemerintah Kolonial membuka kesempatan bagi swasta (warga Eropa, khususnya Belanda) untuk mengelola lahan di beberapa daerah di Indonesia. Sejak itulah keluarga besar Van der Hutch (yang terdiri dari keluarga Kerkhoven, Holle, dan Boscha) menjadi salah satu pengusaha lahan.

Jika selama ini pandangan bangsa Indonesia kepada Belanda penuh dengan kebencian (akibat penjajahan 350 tahun), namun ternyata tidak semua orang Belanda begitu jahat terhadap bangsa Indonesia. Secara garis besar bangsa Belanda di Indonesia terdiri atas dua kelompok yakni pemerintah kolonial (kompeni) dan pihak swasta. Orang-orang dari pihak swasta inilah yang kebanyakan menjadi pihak baik bagi masyarakat pribumi. Contohnya adalah Karel Holle, pengelola perkebunan Waspada di Garut. Ia menjadi teman bagi petani, bahkan bisa dijuluki sebagai bapak petani modern di Indonesia. Ia yang awalnya mengajarkan petani lokal mengolah lahan pertanian sebagaimana harusnya. Karel Holle bahkan bersahabat dengan Haji Mohammad Musa, penghulu sekaligus tokoh Islam di Garut. Ia juga yang memberi kesempatan kepada Haji Musa untuk menerbitkan karya-karyanya (dalam bahasa Sunda / Sastra Klasik Sunda) yang saat itu tentu saja sulit bagi pribumi yang kebanyakan masih bodoh dan percetakan masih didominasi oleh kolonial. Ia dan Haji Musa tentu saja layak mendapat gelar Bapak Sastra Sunda.

Jika merasa tidak familiar dengan Karel Holle, kalian tentu kenal dengan K.A.R. Boscha. Ia merupakan Raja Teh di Priangan, dan juga Bapak Astronomi Indonesia dan merupakan pendiri Obsrvatorium Boscha.  Maka, Boscha dan Holle adalah orang-orang Belanda yang punya kepedulian tinggi terhadap masyarakat pribumi. Mereka sudah melakukan aksi nyata dalam membantu warga lokal, meskipun tidak mampu berbuat banyak mengintervensi kebijakan pemerintah kolonial. Dalam pernyataannya Holle mengungkapkan betapa ia prihatin terhadap masyarakat Sunda:
Dengar Rudolf.... sejak aku tiba di sini selagi masih anak-anak, melihat betapa bertolakbelakangnya kesuburan negeri yang indah ini dan kemiskinan rakyatnya, sungguh sangat menyakitkan bagiku. Tanah Sunda adalah tanah yang terabaikan, didominasi oleh para raja dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka kehilangan kebudayaan mereka sendiri. Sungguh suatu keajaiban mereka masih memiliki bahasanya sendiri. (hlm. 107)
Namun tentu saja sebaik-baiknya sebagian orang Belanda terhadap masyarakat kita, tetap kita tidak setuju dengan monopoli dan dikuasainya negeri ini oleh bangsa asing.

Roman ini memang penuh dengan kejutan. Salah satunya adalah mengenai betapa polos dan lugunya orang-orang pribumi. Dan juga betapa "tidak sopannya" pakaian mereka. Kata Rudolf Kerkhoven ketika pertama kali mengunjungi Batavia:
Kini mereka melaju di sepanjang tepi kanal yang penuh dengan orang-orang yang sedang mandi dan mencuci pakaian. Para wanita yang berdiri dalam air sepinggang, tanpa malu-malu memperlihatkan bahu mereka yang telanjang, dan lebih banyak lagi bagian tubuh yang lain jika sedang mencuci rambut. Rudolf sudah mendengar perkataan orang-orang di kapal yang menggambarkan pemandangan harian kehidupan kaum pribumi di Jawa semacam ini sebagai sesuatu yang memalukan di mata orang-orang Eropa... (hlm. 78)
Saya tertawa membacanya. Dewasa ini banyak orang Indonesia menganggap pakaian ala barat tidak sopan, ternyata pada masa lalu justru orang Indonesia yang "berpakaian terbuka ala barat". Menurut saya itu karena mereka menyesuaikan pakaian dengan iklim tropis yang memang ada di Indonesia. Sementara di Eropa, orang-orang cenderung mengenakan gaun atau jas karena iklim di sana yang cenderung lebih dingin. Jika sekarang ini orang Eropa senang berpakaian terbuka, mungkin karena mereka sudah menganut paham yang lebih bebas. Sementara orang-orang Indonesia kini sudah jauh lebih terpelajar sehingga tidak lagi mandi dan berpakaian terbuka sembarangan di depan orang banyak.

Saya juga sedikit surprised kalau orang Indonesia pada zaman dahulu justru peminum teh hijau, seperti yang biasa diminum orang-orang Jepang. Jadi bangsa kita juga punya budaya menyeruput ocha dengan nikmat di masa lalu. Seperti kata Karel Holle;
Penduduk di sini lebih menyukai teh hijau untuk mereka sendiri, sama seperti di Tiongkok dan Jepang. (hlm. 105)
Sayangnya, seperti kata Eduard Kerkhoven, pasar Eropa tidak tertarik pada Teh Hijau. Sehingga sepertinya karena itulah budaya minum teh hijau tidak berlanjut di kalangan masyarakat pribumi.

Well, saya pikir itulah beberapa kejutan diantara banyak kejutan dalam roman ini. Bagi yang memang menyukai sejarah, pasti akan bersemangat membacanya, seperti saya. Buku ini sangatlah berharga untuk dibaca dan dikoleksi. Karena ini bukan fiksi, dan bukan sekedar roman. Ini sejarah! Yang sangat berkaitan erat dengan masa lalu bangsa kita.

Bintang lima!


Data buku

Judul: Sang Juragan Teh
Judul asli: Heren van de Thee
Pengarang: Hella S. Haasse
Penerjemah: Indira Ismail
Paperback, 440 pages
Published December 3rd 2015 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1992)
Be First to Post Comment !
Post a Comment

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Custom Post Signature