Top Social

Kilas Buku: Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)

|

Judul: Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Genre: Fiksi Sejarah
Tebal: 535 halaman
Penerbit: Lentera Dipantara, 2005 (pertama kali terbit 1975)

Sinopsis:
Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah, Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." (goodreads)

----

Pada awalnya saya ogah-ogahan mulai membaca buku ini. Saya berpikir buku ini akan seperti roman jadul semacam pujangga lama yang kadang membosankan dibaca. Namun ternyata tidak. Dimulai dari kalimat pertama, saya merasa seperti ada yang menarik-narik untuk terus mengikuti cerita Minke. Sihir! Ya, bisa jadi. Kata-kata yang disusun dengan baik, berdasarkan pengalaman menulis dan sejarah yang baik tentu akan menjadi sihir tersendiri bagi para pembaca.

Buku ini tak ubahnya macam sejarah Indonesia pada masa kolonial di awal abad 20. Ketika itu, para pribumi memang masih banyak yang bodoh, namun setidaknya sudah banyak yang bersekolah walau terbatas pada kalangan priyayi saja. Minke termasuk kalangan priyayi, sehingga ia dapat bersekolah hingga jenjang HBS.

Dari Bumi Manusia saya mendapatkan beberapa kategori karakter yang hidup pada masa itu, yakni;

  • pribumi miskin yang bodoh dan tidak punya kekuatan untuk melawan, 
  • pribumi priyayi (pejabat) yang menjilat orang kulit putih,
  • pribumi terpelajar dan sadar akan perjuangan demi keadilan dan persamaan derajat manusia, 
  • orang kulit putih yang merasa superior pada setiap kesempatan, 
  • dan orang kulit putih yang mengerti akan persamaan hak dan senang memberi kesempatan kepada pribumi untuk menjadi pribadi yang lebih maju.
Maka dari sana saya dapat mengambil kesimpulan, bisa jadi perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonial berlangsung begitu lama karena kesadaran akan kebersamaan dan hak belum sepenuhnya merata pada bangsa kita. Di satu sisi ada kalangan yang masih merasa superior, dan di sisi lain ada kalangan yang sadar bahwa perjuangan melawan kolonial harus dilakukan bersama-sama, tidak memandang tinggi rendahnya kedudukan. Dan kalangan yang kedua ini tidaklah sebanyak kalangan yang pertama sehingga memungkinkan lambatnya kemerdekaan.

Sementara mengenai Nyai Ontosoroh dan puterinya, Annelies Melema, mereka berdua adalah karakter yang berbeda. Nyai Ontosoroh, berbekal pengalaman makan asam-garam dan pahit-manis kehidupan, bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan disegani. Sementara Annelies, tumbuh menjadi karakter yang kekanak-kanakan di bawah bayang-bayang ibunya. Yah, meski sebenarnya Annelies termasuk anak yang cekatan, pintar, dan bertanggung jawab.

Perjuangan Nyai Ontosoroh dan Minke melawan keluarga suaminya sendiri merupakan pengadilan yang tidak berimbang. Namun yang patut diambil dari kondisi mereka adalah, sikap yang tidak mau berdiam diri dan tidak patah semangat. Mereka tetap berjuang meskipun hukum tidak pernah memihak kaum pribumi. Hukum adalah untuk orang-orang kulit putih. Hukum sangat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. *sigh*

Buku ini saya rekomendasikan untuk para pembaca yang ingin mendapat gambaran tentang masa kolonial awal abad 20. Meski hanya fiksi, namun Pram (sang penulis) menuliskannya berdasarkan sejarah yang ada. Hal ini dapat terlihat betapa dalam pengetahuan dan risetnya terhadap alur cerita.

5 bintang.

Be First to Post Comment !
Post a Comment

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Custom Post Signature