Manifesto Khalifatullah
Penulis: Achdiat K. Mihardja
Tebal: 219 halaman
Terbit: 2005
Penerbit: Mizan Pustaka
Rating: 3/5
Dengan membaca terjemahan Al-Qur’an yang diterjemahkan dengan puitis oleh H.B Jassin (mengingatkan: judul Al-Qur’an yang diterjemahkan oleh H.B Jassin ialah ‘Al-Qur’an Berwajah Puisi’. Terjemahan ini sempat mendapat berbagai respon yang menolak keberadaan terjemahan tersebut di Indonesia) kita akan mengingat kembali apa sebenarnya tujuan Allah menurunkan kita ke atas bumi. Bukan karena kesalah nabi Adam yang memakan buah khuldi, namun Allah memang memiliki tujuan dibalik peristiwa tersebut yakni menjadikan kita sebagai wakilNya di muka bumi. Yakni mengutus kita untuk membumikan perintah dan ajaranNya di dunia ini.
Seorang Achdiat K. Miharja (mengingatkan: beliau adalah penulis novel ATHEIS yang menjadi rujukan bacaan sastra yang bagus. Jika mau mengingat kembali ke belakang, penggalan-penggalan dalam novel ini selalu menjadi soal dalam tes Bahasa Indonesia baik di SD, SMP atau SMA bahkan sebagai soal di Tes Masuk Perguruan Tinggi) dalam usianya yang sudah dibilang kelewat uzur (90 tahun dan sekarang sudah tenang di sisi Tuhan) dengan mata nyaris buta menulis buku Manifesto Khalifatullah yang diterbitkan Arasy yang didistribusikan oleh Mizan Media Utama pada 2005. Saya membeli dan membacanya ketika umur saya masih 18 tahun pada 6 bulan pertama 2006 lalu. Sungguh hikmah dan pesan dan pengalaman yang luar biasa yang saya temui dalam buku ini.
Sederhananya jika dikisahkan dalam bentuk singkat, buku ini menggambarkan sosok manusia yang pada awalnya menafikan keberadaan Tuhan. Ia melalaikan dan hanya percaya dengan kekuatan alam dan kekuatan dirinya sendiri; tidak ada yang dari Tuhan. Namun pada akhirnya seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang makin memperkaya pikiran, ia pun berpikir tentang adanya Tuhan; Tuhan benar-benar ada! Seperti yang dialami Jean Paul Sartre (tokoh dalam buku Understanding Secular Religions dari Josh McDowell & Don Stewart), tokoh besar paling terkemuka dari kaum eksistensialis yang ateis itu, pada saat-saat terakhir hari tuanya dalam keadaan renta dan buta pula, telah berterus terang kepada seorang temannya, Pierre Victor yang mantan penganut Mao Tze Tung, bahwa segala-galanya yang ada di dunia ini mesti ada penciptanya. Dan penciptanya itu adalah Tuhan.
Itulah yang dikisahkan Achdiat sebenarnya. Mengenai untuk dan sebagai apa manusia di dunia ini. Bullshit hati manusia tidak mempercayai Tuhan, walau mereka mengaku sebagai atheis. Meski sedikit, pasti ada rasa pembenaran terhadap adanya Tuhan.
Berkisah tentang tokoh ‘aku’ yang dalam Kisah Panjang (kispan) –Achdiat yang sudah 43 tahun lebih tinggal di Australia ini lebih senang menyebutnya begitu—ini memiliki pengalaman hidup yang luar biasa. Dikisahkan ia banyak bertemu dengan penggagas utama aliran pemikiran ideology dunia seperti Sidharta Ghautama (yang ditemuinya pertama kali), Karl Max, Engelsm, Bacon, Adam, Smith, Nietzsche. Ia juga bertemu dengan Chairil Anwar, S.T Alisjahbana, Sanusi Pani, Sutan Syahrir. Masing-masing tokoh tsb juga saling bertemu dan mendiskusikan ide dan pemikiran mereka, bahkan diceritakan para pemikir tsb sampai berdebat. Namun pada akhirnya ‘aku’ jatuh hati pada gagasan tokoh Abah Arifin, seorang kyai nyentrik dari Lembah Pasaduka yang mengaku sebagai MBS alias Manusia Biasa Saja.
Abah Arifin yang memperkenalkan manifesto khalifatullah (penjelmaan manusia sebagai wakil Allah) kepada aku. Ia bercerita tentang kisah segitiga antara Allah-Manusia (Adam)-Iblis yang ada dalam QS. Al-Baqarah: 35, QS. Al-A’raf: 69, QS. Shad: 71. Dikisahkan iblis sangat menentang ketika diperintahkan untuk bersujud kepada manusia dan makin bertambah iri dengkinya ketika manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi sehingga ia memohon kepada Allah agar diizinkan untuk menggoda dan membelokkan jalan kelurusan manusia sebagai bentuk nyata dengkinya.
Terakhir dalam Kisah Panjangnya Achdiat mengungkapkan melalui tokoh aku;
Sekali lagi, buku ini merupakan jeritan dan pengalaman spiritual penulisnya khususnya mengenai Ketuhanan. Pasalnya Achidiat sering menemui orang-orang yang mengajaknya dan membuatnya berdiskusi tentang keberadaan Tuhan. Ya, orang-orang yang dihadapi ialah orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Karena ia telah lama tinggal dan bergaul di Australia, maka ia bertemu dengan sering dengan orang-orang barat yang menjadi teman-temannya yang kebanyakan tidak beragama. Salah satunya ia pernah bertemu dengan seorang turis Amerika yang berkunjung ke Australia dan terlibat pembicaraan dengannya yang makin lama makin jauh kepada urusan ketuhanan. Achdiat kekeuh meyakinkan bahwa Tuhan itu ada hingga akhirnya ia menceritakan tentang orang-orang sekuler dan atheis yang pada akhir hidupnya percaya pada adanya Tuhan (seperti yang telah saya kemukakan diatas tadi).
Lalu mengenai Bob Brisley, rekannya sesame dosen di Australia National University (ANU), Canberra, yang meninggal. Bob ialah seorang penyair dan novelis, suka menyanyi dan bermain gitar. Bod dimakamkan di luar kota dan kebetulan Achidiat tidak ikut hadir dalam pemakam tsb. Ketika ia bertanya mengenai pemakamannya, ia mendapat info bahwa tidak ada kesyahduan seperti lazimnya orang mengubur jenazah. Ketika jenazah Bob dimasukkan ke liang kubur, maka serentak itu pula satu jazz band yang lengkap dan telah dipersiapkan langsung membunyikan musik jazz-nya keras-keras hingga liang kubur tersebut ditutup dan orang-orang kembali pulang. Tidak ada doa dan tidak ada wajah-wajah sedih.
Beberapa waktu setelah Bob meninggal, Achdiat bertemu kembali dengan Ross, janda Bob yang sedang bersama temannya yang juga membawa keluarganya. Ketika itu mereka makan bersama hingga terlibat obrolan yang entah kenapa (lagi-lagi) menyinggung masalah keberadaan Tuhan. Ross beserta John, temannya yang dosen fisika itu, berpendapat bahwa Manusia ialah ciptaan alam. Lalu Achdiat membantah dengan mengatakan bahwa alam ada yang menciptakan, yakni Tuhan. Mereka berpendapat lagi bahwa tidak ada yang menciptakan alam kecuali alam itu sendiri.
Ya begitulah, orang-orang yang belum tersentuh hatinya. Bahwa memang hanya Allah yang menentukan orang-orang yang akan diberi petunjuk oleh-Nya (QS. Al-Maidah: 51). Semoga kita masuk kedalamnya, dan sadar akan tujuan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Wallahu a’lam.
Penulis: Achdiat K. Mihardja
Tebal: 219 halaman
Terbit: 2005
Penerbit: Mizan Pustaka
Rating: 3/5
Sebelumnya, kilasan ini pernah saya sajikan dalam blog dhila13.wordpress.com
“Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak jadikan khalifah di muka bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Kau tepatkan orang yang merusak di sana dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih menurut Dikau dan menguduskan nama-Mu?’ (Tuhan menjawab dan) berfirman, ‘Sungguh, Aku tahu apa yang tiada kamu tahu.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Dengan membaca terjemahan Al-Qur’an yang diterjemahkan dengan puitis oleh H.B Jassin (mengingatkan: judul Al-Qur’an yang diterjemahkan oleh H.B Jassin ialah ‘Al-Qur’an Berwajah Puisi’. Terjemahan ini sempat mendapat berbagai respon yang menolak keberadaan terjemahan tersebut di Indonesia) kita akan mengingat kembali apa sebenarnya tujuan Allah menurunkan kita ke atas bumi. Bukan karena kesalah nabi Adam yang memakan buah khuldi, namun Allah memang memiliki tujuan dibalik peristiwa tersebut yakni menjadikan kita sebagai wakilNya di muka bumi. Yakni mengutus kita untuk membumikan perintah dan ajaranNya di dunia ini.
Seorang Achdiat K. Miharja (mengingatkan: beliau adalah penulis novel ATHEIS yang menjadi rujukan bacaan sastra yang bagus. Jika mau mengingat kembali ke belakang, penggalan-penggalan dalam novel ini selalu menjadi soal dalam tes Bahasa Indonesia baik di SD, SMP atau SMA bahkan sebagai soal di Tes Masuk Perguruan Tinggi) dalam usianya yang sudah dibilang kelewat uzur (90 tahun dan sekarang sudah tenang di sisi Tuhan) dengan mata nyaris buta menulis buku Manifesto Khalifatullah yang diterbitkan Arasy yang didistribusikan oleh Mizan Media Utama pada 2005. Saya membeli dan membacanya ketika umur saya masih 18 tahun pada 6 bulan pertama 2006 lalu. Sungguh hikmah dan pesan dan pengalaman yang luar biasa yang saya temui dalam buku ini.
Sederhananya jika dikisahkan dalam bentuk singkat, buku ini menggambarkan sosok manusia yang pada awalnya menafikan keberadaan Tuhan. Ia melalaikan dan hanya percaya dengan kekuatan alam dan kekuatan dirinya sendiri; tidak ada yang dari Tuhan. Namun pada akhirnya seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang makin memperkaya pikiran, ia pun berpikir tentang adanya Tuhan; Tuhan benar-benar ada! Seperti yang dialami Jean Paul Sartre (tokoh dalam buku Understanding Secular Religions dari Josh McDowell & Don Stewart), tokoh besar paling terkemuka dari kaum eksistensialis yang ateis itu, pada saat-saat terakhir hari tuanya dalam keadaan renta dan buta pula, telah berterus terang kepada seorang temannya, Pierre Victor yang mantan penganut Mao Tze Tung, bahwa segala-galanya yang ada di dunia ini mesti ada penciptanya. Dan penciptanya itu adalah Tuhan.
Itulah yang dikisahkan Achdiat sebenarnya. Mengenai untuk dan sebagai apa manusia di dunia ini. Bullshit hati manusia tidak mempercayai Tuhan, walau mereka mengaku sebagai atheis. Meski sedikit, pasti ada rasa pembenaran terhadap adanya Tuhan.
Berkisah tentang tokoh ‘aku’ yang dalam Kisah Panjang (kispan) –Achdiat yang sudah 43 tahun lebih tinggal di Australia ini lebih senang menyebutnya begitu—ini memiliki pengalaman hidup yang luar biasa. Dikisahkan ia banyak bertemu dengan penggagas utama aliran pemikiran ideology dunia seperti Sidharta Ghautama (yang ditemuinya pertama kali), Karl Max, Engelsm, Bacon, Adam, Smith, Nietzsche. Ia juga bertemu dengan Chairil Anwar, S.T Alisjahbana, Sanusi Pani, Sutan Syahrir. Masing-masing tokoh tsb juga saling bertemu dan mendiskusikan ide dan pemikiran mereka, bahkan diceritakan para pemikir tsb sampai berdebat. Namun pada akhirnya ‘aku’ jatuh hati pada gagasan tokoh Abah Arifin, seorang kyai nyentrik dari Lembah Pasaduka yang mengaku sebagai MBS alias Manusia Biasa Saja.
Abah Arifin yang memperkenalkan manifesto khalifatullah (penjelmaan manusia sebagai wakil Allah) kepada aku. Ia bercerita tentang kisah segitiga antara Allah-Manusia (Adam)-Iblis yang ada dalam QS. Al-Baqarah: 35, QS. Al-A’raf: 69, QS. Shad: 71. Dikisahkan iblis sangat menentang ketika diperintahkan untuk bersujud kepada manusia dan makin bertambah iri dengkinya ketika manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi sehingga ia memohon kepada Allah agar diizinkan untuk menggoda dan membelokkan jalan kelurusan manusia sebagai bentuk nyata dengkinya.
Terakhir dalam Kisah Panjangnya Achdiat mengungkapkan melalui tokoh aku;
‘Maka, bagiku orang kuat itu tiada lain dari orang yang kuat untuk menendang sang iblis dan setan-setannya sehingga mereka lari terbirit-birit ke ujung langit. Orang itu kuat karena keteguhan keyakinan dan imannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dia sadar akan tugasnya sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Dia pantang tunduk pada kemauan dan godaan iblis dan setan-setannya. Itulah dia, orang kuat, sang khalifatullah, wakil Tuhan di muka bumi ini! Emoh menjadi wakil setan!’ (Achiat K. Miharja, Manifesto Khalifatullah, Arasy: Juni 2005, hal. 178)
Sekali lagi, buku ini merupakan jeritan dan pengalaman spiritual penulisnya khususnya mengenai Ketuhanan. Pasalnya Achidiat sering menemui orang-orang yang mengajaknya dan membuatnya berdiskusi tentang keberadaan Tuhan. Ya, orang-orang yang dihadapi ialah orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Karena ia telah lama tinggal dan bergaul di Australia, maka ia bertemu dengan sering dengan orang-orang barat yang menjadi teman-temannya yang kebanyakan tidak beragama. Salah satunya ia pernah bertemu dengan seorang turis Amerika yang berkunjung ke Australia dan terlibat pembicaraan dengannya yang makin lama makin jauh kepada urusan ketuhanan. Achdiat kekeuh meyakinkan bahwa Tuhan itu ada hingga akhirnya ia menceritakan tentang orang-orang sekuler dan atheis yang pada akhir hidupnya percaya pada adanya Tuhan (seperti yang telah saya kemukakan diatas tadi).
Lalu mengenai Bob Brisley, rekannya sesame dosen di Australia National University (ANU), Canberra, yang meninggal. Bob ialah seorang penyair dan novelis, suka menyanyi dan bermain gitar. Bod dimakamkan di luar kota dan kebetulan Achidiat tidak ikut hadir dalam pemakam tsb. Ketika ia bertanya mengenai pemakamannya, ia mendapat info bahwa tidak ada kesyahduan seperti lazimnya orang mengubur jenazah. Ketika jenazah Bob dimasukkan ke liang kubur, maka serentak itu pula satu jazz band yang lengkap dan telah dipersiapkan langsung membunyikan musik jazz-nya keras-keras hingga liang kubur tersebut ditutup dan orang-orang kembali pulang. Tidak ada doa dan tidak ada wajah-wajah sedih.
Beberapa waktu setelah Bob meninggal, Achdiat bertemu kembali dengan Ross, janda Bob yang sedang bersama temannya yang juga membawa keluarganya. Ketika itu mereka makan bersama hingga terlibat obrolan yang entah kenapa (lagi-lagi) menyinggung masalah keberadaan Tuhan. Ross beserta John, temannya yang dosen fisika itu, berpendapat bahwa Manusia ialah ciptaan alam. Lalu Achdiat membantah dengan mengatakan bahwa alam ada yang menciptakan, yakni Tuhan. Mereka berpendapat lagi bahwa tidak ada yang menciptakan alam kecuali alam itu sendiri.
Ya begitulah, orang-orang yang belum tersentuh hatinya. Bahwa memang hanya Allah yang menentukan orang-orang yang akan diberi petunjuk oleh-Nya (QS. Al-Maidah: 51). Semoga kita masuk kedalamnya, dan sadar akan tujuan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Wallahu a’lam.
Be First to Post Comment !
Post a Comment