Judul Asli: In Search of Fatima, A Palestinian Story
Pengarang: Ghada Karmi
Penerjemah: Risa Praptono
Terbit: 2006
Penerbit: Diwan Publishing
Tebal: 534 halaman
Buku ini menakjubkan. Meskipun pada awalnya agak kecewa, karena saya berpikir alur ceritanya mengenai pencarian seorang gadis Palestina bernama Fatima yang hilang dan terpisah dari keluarganya dalam kondisi perang di Palestina. Ternyata bukan Fatima yang dicari, karena dalam buku ini Fatima tidak menjadi tokoh utama, melainkan tokoh pelengkap saja yang menjadi pembantu keluarga dari si tokoh utama. Kisah dalam buku ini merupakan kisah nyata yang dialami langsung oleh penulisnya, Ghada Karmi. Ia menceritakan pengalamannya sendiri sepenuhnya. Jadi si gadis cilik yang memeluk anjingnya yang disebutkan pada paragraf awal adalah Ghada Karmi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa negara Israel berdiri sejak tahun 1948. Tapi tahukah jika dibalik itu ada penyerbuan besar-besaran terhadap negara Palestina? Masyarakatnya diserang, dipaksa keluar dari negerinya sendiri dan kemudian ada ekspansi penduduk beragama Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina yang sudah kosong dan masih penuh bekas serangan bom. Kemudian negara Palestina dihapus dari peta dunia dan dideklarasikanlah Israel pada tahun 1948.
Terlepas dari latar belakang agama, Ghada Karmi dalam bukunya ini hanya mengungkapkan bagaimana rasanya harus pergi dari tanah kelahirannya menuju Inggris. Ia dan saudara-saudaranya merupakan sekian dari banyak orang yang kebingungan akan identitas asalnya. Ia akhirnya tidak merasa menjadi Inggris ataupun Arab. Namun akhirnya juga ia merasa menjadi kedua-duanya. Seperti dibelah dua, jika identitas tersebut ingin digambarkan. Saya jadi teringat dengan sebuah novel dengan tokoh yang harus berasimilasi juga, tokoh ini bahkan merasa tidak diterima di negara tempat ia tinggal maupun negara aslinya. Ya mungkin begitu jeleknya asimilasi (?). Nah, apalagi nasib seperti Ghada, pindah dari kota asal dan melebur ke negara lain bukanlah keinginannya. Tentu rasanya sangat menyakitkan ketika melihat kenangan itu dalam pikiran kita bukan. Apalagi segala milik kita di tempat asal sudah harus menjadi milik orang lain, diambil begitu saja.
Ada orang seperti Ghada yang mampu melebur, namun ada pula orang seperti sang ibu yang menolak apapun yang berkait dengan asimilasi. Ibunda Ghada tidak bisa menerima kenyataan kalau kampung halamannya sudah musnah. Meski ia tinggal di Inggris, ia tidak ingin berbicara menggunakan bahasa Inggris, tidak ingin mengikuti tatacara budaya atau masakan mereka. Ia seperti membiarkan dirinya hanyut dalam kenangan lama dan sangat sedih mengetahui impian dengan kampung halamannya sudah hancur.
Begitulah sekilas dari buku ini. Membuat para pembaca ikut meringis, merasakan bagaimana rasanya diusir paksa dari tanah kelahiran sendiri. Coba pikirkan, bagaimana rasanya? Sakit, sedih. Itu pasti. Beruntung keluarga Ghada masih bisa pergi ke negara lain karena memiliki uang cukup. Bagaimana mereka yang tidak mampu dan terpaksa harus tinggal di pengungsian sepanjang waktu? Pikirkan itu kawan.
Be First to Post Comment !
Post a Comment