Wasripin tidak punya siapa-siapa kecuali Emak Angkatnya. Oleh Emak ia dirawat dan diberi pendidikan sekadarnya hingga ia tumbuh dewasa. Dari Emak pula ia tahu bagaimana rasanya puas berhubungan dengan perempuan. Suatu ketika Wasripin tidak ingin tinggal bersama Emak Angkat lagi. Ia ingin mandiri sekaligus mencari kampung asal orang tuanya. Maka pergilah ia ke suatu Kampung Nelayan di pesisir utara Pulau Jawa. Di sanalah ia akan hidup sebagai orang yang disegani sekaligus dianggap musuh.
Satinah memiliki nama asli Satiyem. Malah sebenarnya ia diberi nama Waliyem ketika lahir. Namun karena nama Waliyem dirasa begitu berat, Satinah kecil sering sakit. Akhirnya nama Satiyem muncul setelah konsultasi dengan orang pintar. Nama Satinah adalah pemberian dari Ketua Partai Randu ketika ia bernyanyi di Kampung Nelayan. Sejak sambutan yang hangat itu, ia dan pamannya mulai menetap di sana.
Pak Modin hanyalah Imam Surau kampung nelayan yang bijaksana. Bagi para warga, ia adalah pemimpin mereka meskipun tidak resmi menjabat sebagai lurah atau kades. Pak Modin memang terpilih sebagai kades resmi, namun kemenangan dan pelantikannya dibatalkan.
Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi, Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong.Pak Modin disegani warga karena kearifannya. Namun ia juga dimusuhi partai, dan kalangan atas karena ia Golput.
Dalam rapat Muspika, Danramil menunjukkan surat dari Kodim yang ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades. (hlmn. 83)
Lagi-lagi, saya agak kesulitan membuat resensi untuk karya pak Kuntowijoyo yang satu ini. Karena "Wasripin & Satinah" bukan sekedar novel yang penuh sindiran. Ia gambaran sang penulis akan mental Bangsa Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan bawah kota Jakarta yang miskin dan harus puas tinggal berhimpitan di tepi kali. Hingga pejabat militer yang tugasnya menangkap orang yang belum tentu bersalah.
Intinya, Kuntowijoyo menggambarkan Orde Baru, yang dalam buku ini disebut dengan "Orde Konstruksi" (hlmn. 150). Tiga partai yang ada di zaman Orde Konstruksi disebut sebagai Partai Randu, Partai Langit, dan Partai yang bergambar binatang. Presiden Soeharto dari jalan Cendana disebutnya sebagai Presiden Sadarto dari Jalan Cempaka. Dan saya rasa MUI (yang sejarah pembentukkannya memang dianggap sebagai tangan Soeharto untuk mengkondisikan umat Islam) dinamakan sebagai Badan Pengawas Agama dalam novel ini.
Pemerintah digambarkan sama tidak rasionalnya dengan rakyat kalangan bawah yang kurang pendidikan. Jika rakyat selalu mengandalkan klenik dan kepercayaan lainnya dalam menjalani hidup, pemerintah mengandalkan pencarian kambing hitam untuk segala penyelesaian masalah.
Masalah di dunia "Wasripin & Satinah" sebenarnya nihil alias tidak ada yang besar. Masyarakat hanya ingin hidup aman dan tentram di bawah pemimpin yang mereka percayai. Namun pemerintah Orde Kontruksi seperti ketakutan kepada hantu dan musuh yang tidak nyata. Ia takut pada golput, maka haruslah dihabisi si Modin dan Wasripin yang menyebabkan warga golput. Maka, yang saya simpulkan, pemerintah justru menjadikan masyarakat sebagai musuhnya sendiri. Ia takut akan kekuatan masyarakat yang mungkin sewaktu-waktu mengancam kedudukan mereka.
Hmm, kenapa harus takut? Takut berarti ada apa-apa. Takut berarti mereka punya dosa besar. Jika memang niatnya membuat negeri ini menjadi negeri yang aman dan nyaman dengan bangsa yang besar, maka yang harus dilakukan adalah mencari solusi yang baik, bukan membungkam kambing hitam yang lugu. Atau mencuci otak para kambing hitam seolah mereka merasa sebagai "the real" pembuat makar.
Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seseorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan.
Seseorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu berhenti.
"Pak Modin! Pak Modin!"
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang tua itu mengulurkan tangan.
"Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII."
"Bukan. Tapi Pak Modin, iman surau TPI."
"Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap."
"Tidak Pak."
"Lha, siapa saya?"
"Pak Modin! Pak Modin!"
Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesenggukan dan para perempuan menangis. (hlmn. 246 - 247)
Data buku
Judul: Wasripin & SatinahPenulis: Kuntowijoyo
Paperback, cetakan ke-2, 250 halaman
Penerbit: Kompas, 2013
ISBN: 9789797097448
Be First to Post Comment !
Post a Comment