Teh tawar panas dan sebuah buku alm. pak Kuntowijoyo terletak di hadapan. Seketika saya terkenang momen pertama kali membaca karya beliau, kumcer "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" sebelas tahun silam. Rasanya tak menyangka dapat memiliki (baca: membeli) kumcer berjudul sama meski dengan sampul dan terbitan yang berbeda. Ketika membaca ulang karya tsb, saya memiliki gairah dan ketakjuban yang sama. Saya pun berpendapat bahwa sebuah karya yang bagus tidak pernah akan membosankan meski berulang kali dibaca.
Siapa yang tidak mengenal alm. Kuntowijoyo? Ah ya, mungkin memang ada beberapa pembaca yang belum mengenal beliau, seperti saya yang juga belum banyak tahu tentang dunia sastra Indonesia. Kuntowijoyo adalah salah seorang sastrawan, sejarawan, sekaligus akademisi yang mumpuni di Indonesia. Ia telah menghasilkan banyak karya sastra dalam bentuk esai, prosa, puisi, cerpen, novel dan drama. Karya beliau yang akan saya ulas di sini adalah kumcer yang judulnya telah saya singgung di atas.
Buku cetakan lama, diterbitkan pertama kali tahun 1992. Buku inilah yang menjadi perkenalan pertama saya dengan Kuntowijoyo. |
Buku ini adalah kumpulan cerita yang terdiri atas sepuluh cerpen. Cerpen yang pertama dan utama disajikan adalah "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga". Cerpen itu pernah memenangkan juara pertama dalam sayembara majalah Sastra pada tahun 1968. Bercerita tentang seorang anak laki-laki yang bersahabat dengan tetangganya, si kakek penikmat tanaman bunga. Banyak yang diajarkan kakek kepada si cucu baru. Bunga digambarkan sebagai perasaan yang halus dan jati diri yang sesungguhnya. Sementara keributan dalam kerja digambarkan sebagai nafsu dunia yang membuat manusia menjadi tamak. Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa manusia haruslah mampu menggabungkan kekuatan hati, akal, dan tenaganya untuk mencari kebahagiaan sejati. Terlalu berat pada satu sisi bisa jadi akan memiliki akibat yang kurang baik. Namun pada akhirnya manusialah yang memilih sendiri jalan mana yang akan mereka tempuh.
Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, Ayah kerja-bengkel, Ibu mengaji-masjid. Terasa aku harus memutuskan sesuatu. Sampai jauh malam aku baru akan tertidur. (Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, hlm. 28)Ada beberapa cerpen yang saya sukai selain satu cerpen di atas, yakni, "Anjing", "Samurai", dan "Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah". Pada cerpen "Anjing", dan "Samurai", Kuntowijoyo menggambarkan kehidupan rumah tangga, khususnya lika-liku pasangan yang baru menikah. Ada campuran perasaan marah, sedih, sebal, kasihan, dan lucu dalam cerita ini, yah laiknya hubungan yang baru bersemi. Saya bertanya dalam hati kalau-kalau proses pengerjaan cerita terjadi ketika si pengarang sendiri belum lama menikah dengan pasangannya. Ya wajar saja jika inspirasi tema keluarga muda menjadi tema utama pada dua cerpen tsb.
Sementara pada cerpen "Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah", memiliki tema yang sama dengan "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga", yakni menceritakan tentang hubungan persahabatan tidak langsung antara seorang kakek dan anak kecil. Gerobak yang dibawa kakek untuk bekerja adalah titik persoalan, namun justru itulah yang mendekatkan ia dengan tetangga barunya (seorang ayah muda) dan anaknya yang kemudian dianggap cucu. Tokoh kakek dan gerobaknya mewakili urusan kerja sekaligus ibadah. Tokoh bapak muda yang juga guru sekolah, mewakili urusan keilmuan. Sementara tokoh balita mewakili kertas putih polos yang siap menerima apapun sebagai asupan hidupnya.
Saya masih ingat, "Gerobak Berhenti di Muka Rumah" juga pernah diadaptasi sebagai film televisi di TVRI dengan Chaerul Umam sebagai sutradaranya. Tokoh-tokohnya diperankan oleh Jerio Jeffry, Berliana Febryanti, dan HIM Damsyik. Rasanya senang sekali sewaktu tahu cerita sebagus ini diadaptasi menjadi tontonan layar kaca.
Secara umum Kuntowijoyo memang selalu memakai tokoh kakek dan anak laki-laki sebagai karakter utamanya. Namun bukan berarti ia tak suka menjadikan perempuan sebagai salah satu karakternya. Malah seringkali perempuan digambarkan sebagai istri yang cerdik dan banyak akal, juga ibu yang pengasih kepada anaknya. Yah walaupun, perempuan juga sering digambarkan sebagai orang yang cerewet setengah mati dan gampang berubah perasaannya. Ah ini yang bikin saya senyum-senyum sendiri, mungkin karena memang begitu adanya ya. 😊
Pada akhirnya, kumcer Kuntowijoyo selalu menggunakan pendekatan sastra profetik untuk menyampaikan pesan. Menurut Wan Anwar (Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, hlm. 8-9), sastra profetik adalah sastra yang mengusung humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu'minu billah). Itulah yang menjadikan karya-karya Kuntowijoyo selalu enak dibaca. Dan para penggemar sastra Indonesia tentunya tidak akan melewatkan karya yang satu ini begitu saja. Seperti kata Aan Mansyur, ini adalah salah satu kumpulan cerita pendek Indonesia yang harus dibaca setidaknya sekali seumur hidup.
Data buku
Judul: Dilarang Mencintai Bunga-BungaPengarang: Kuntowijoyo
Tebal: 292 halaman
Cetakan: Paperback, Cetakan I, Juni 2016 (Pernah diterbitkan oleh Pustaka Firdaus 1992)
Penerbit: Noura Books
ISBN: 978-602-385-024-2
Be First to Post Comment !
Post a Comment