Warna Merah Jilbab Berdarah
Penulis: Muhammad Muhyidin
Tebal: 258 halaman
Penerbit: Lazuardi
Cetakan: I, Desember 2003
Rating: 1/5
Untuk sinopsis novel ini, saya kutip dari bagian belakangnya saja ya, begini;
Pegunungan Kendeng bergetar seolah bumi akan memuntahkan laharnya dan memaksa Pegunungan Kendeng sebagai tempat kelahirannya. Pegunungan Kendeng bergemuruh bak menyimpan badai sekam didalamnya, hanya demi menyaksikan sekaligus menjadi tempat persaksian akan sebuah kisah yang datang dari penduduk yang menghuni di dua dukuh di balik Pegunungan Kendeng sebelah utara dan Pegunungan Kendeng sebelah selatan. Dengan dibantu oleh ketajaman kata-kata Shakespeare, kebijakan hari Nizami, dan sambil mendendangkan suara hati Khalil Gibran, Pegunungan Kendeng ingin mengingatkan manusia agar berhati-hati dengan tipu daya budi pekerti, nafsu yang maujud dalam religi, dan agar manusia mau menghatgai manusia lain yang ingin mengungkapkan kesucian cinta dalam bahasa-bahasa ilahi.
***
Review Kilas Buku:
Jadi cerita ini tentang kisah cinta antara Nugroho yang berasal dari Dukuh Randualas dan Sriwiji dari Dukuh Tempelsari. Dua Dukuh bertetangga itu adalah musuh bebuyutan. Sehingga ketika Nugroho dan Sriwiji bertemu dan jatuh cinta, keduanya selalu bertemu diam-diam di Pegunungan Kendeng. Hari demi hari berlalu, perasaan kedua insan itu tercium oleh para warga dari kedua dukuh yang selalu tidak terima jika mereka berdamai. Singkat cerita terjadi pertempuran antar dua dukuh yang menyebabkan Nugroho mati dan Sriwiji juga mati (karena kehabisan darah melahirkan anak Nugroho. Ya, Nugoho dan Sriwiji menikah diam-diam). Setelah kematian mereka kedua dukuh damai dan saling bekerjasama menjaga dan mengasuh buah hati dari Nugroho dan Sriwiji. Pegunungan Kendeng pun diganti namanya dengan Randusari (gabungan nama dari Randualas dan Tempelari).
Well, setelah membaca buku ini saya sangat amat menyesal telah membelinya tahun 2003 dulu. Haha. Betapa tidak, yang saya harapkan lebih dari apa yang tertera dalam novel ini. Bukan cuma menyetak alur-alur yang ada dalam drama Romeo-Julietnya Shakespeare. Ya, mungkin dari awal kita sudah diperingatkan di belakang novel kalau novel berisi ketajaman kata-kata shakespeare. Jadi itu mimpi buruk buat novel ini sebenarnya. Selain itu saya tidak sependapat dengan niat baik Sriwiji yang berdua-duaan dengan Nugroho di Pegunungan Kendeng dengan dalih mengajarkan Islam kepada Nugroho. Ya apa tidak bisa mengajak ayah atau saudaranya yang laki-laki meski mereka sudah tahu kalau kedua dukuh saling bermusuhan.
Itu kritikan saja dari saya, agar penulis mencari ciri khas yang menarik daripada mencetak alur Romeo Juliet dan hanya ditambahi embel-embel Islam.
Penulis: Muhammad Muhyidin
Tebal: 258 halaman
Penerbit: Lazuardi
Cetakan: I, Desember 2003
Rating: 1/5
Untuk sinopsis novel ini, saya kutip dari bagian belakangnya saja ya, begini;
Pegunungan Kendeng bergetar seolah bumi akan memuntahkan laharnya dan memaksa Pegunungan Kendeng sebagai tempat kelahirannya. Pegunungan Kendeng bergemuruh bak menyimpan badai sekam didalamnya, hanya demi menyaksikan sekaligus menjadi tempat persaksian akan sebuah kisah yang datang dari penduduk yang menghuni di dua dukuh di balik Pegunungan Kendeng sebelah utara dan Pegunungan Kendeng sebelah selatan. Dengan dibantu oleh ketajaman kata-kata Shakespeare, kebijakan hari Nizami, dan sambil mendendangkan suara hati Khalil Gibran, Pegunungan Kendeng ingin mengingatkan manusia agar berhati-hati dengan tipu daya budi pekerti, nafsu yang maujud dalam religi, dan agar manusia mau menghatgai manusia lain yang ingin mengungkapkan kesucian cinta dalam bahasa-bahasa ilahi.
***
Review Kilas Buku:
Jadi cerita ini tentang kisah cinta antara Nugroho yang berasal dari Dukuh Randualas dan Sriwiji dari Dukuh Tempelsari. Dua Dukuh bertetangga itu adalah musuh bebuyutan. Sehingga ketika Nugroho dan Sriwiji bertemu dan jatuh cinta, keduanya selalu bertemu diam-diam di Pegunungan Kendeng. Hari demi hari berlalu, perasaan kedua insan itu tercium oleh para warga dari kedua dukuh yang selalu tidak terima jika mereka berdamai. Singkat cerita terjadi pertempuran antar dua dukuh yang menyebabkan Nugroho mati dan Sriwiji juga mati (karena kehabisan darah melahirkan anak Nugroho. Ya, Nugoho dan Sriwiji menikah diam-diam). Setelah kematian mereka kedua dukuh damai dan saling bekerjasama menjaga dan mengasuh buah hati dari Nugroho dan Sriwiji. Pegunungan Kendeng pun diganti namanya dengan Randusari (gabungan nama dari Randualas dan Tempelari).
Well, setelah membaca buku ini saya sangat amat menyesal telah membelinya tahun 2003 dulu. Haha. Betapa tidak, yang saya harapkan lebih dari apa yang tertera dalam novel ini. Bukan cuma menyetak alur-alur yang ada dalam drama Romeo-Julietnya Shakespeare. Ya, mungkin dari awal kita sudah diperingatkan di belakang novel kalau novel berisi ketajaman kata-kata shakespeare. Jadi itu mimpi buruk buat novel ini sebenarnya. Selain itu saya tidak sependapat dengan niat baik Sriwiji yang berdua-duaan dengan Nugroho di Pegunungan Kendeng dengan dalih mengajarkan Islam kepada Nugroho. Ya apa tidak bisa mengajak ayah atau saudaranya yang laki-laki meski mereka sudah tahu kalau kedua dukuh saling bermusuhan.
Itu kritikan saja dari saya, agar penulis mencari ciri khas yang menarik daripada mencetak alur Romeo Juliet dan hanya ditambahi embel-embel Islam.
Be First to Post Comment !
Post a Comment