Top Social

Kilas Buku: Mantra Penjinak Ular

|


Satu lagi sastra perjuangan dari Kuntowijoyo yang layak dibaca. Kali ini berjudul "Mantra Penjinak Ular", dengan tokoh utamanya Abu Kasan Sapari (AKS). AKS ini adalah keturunan Ronggowarsito yang menjadi Dalang. Ia menjadi simbol bagi perjuangan rakyat kelas bawah. Sebagai Dalang, ia mempunyai misi untuk tidak menyampur urusan seni dengan politik praktis.
"Dalang itu seperti halnya ulama, sastrawan seniman, dan ilmuwan tidak boleh menggunakan profesinya untuk kepentingan suatu parpol. Dalang itu bagian dari masyarakatnya dalam arti terikat dengan unggah-ungguh, hukum, dan perundang-undangan persis seperti orang lain, tapi tidak boleh berpolitik melalui parpol. Politik dalam arti pencerahan politik, pendidikan politik, dan kesdaran sebagai warga negara itu sehat untuk kesenian, sebab itulah salah satu fungsi sosial dari dalang. Fungsi lain ialah pencerahan moral, etika, kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, kesadaran bermasyarakat, dan sebagainya." (hlm. 154-155)
Suatu ketika ia didatangi seorang kakek berjubah putih yang tiba-tiba saja menurunkan mantera penjinak ular kepadanya. Dengan begitu, ia menjadi teman sekaligus pawang ular dadakan. Ular ini sesungguhnya menjadi pembawa pesan dari Kuntowijoyo tentang pentingnya kesadaran lingkungan.
"Ular hanya lambang."
"Saya sudah tahu lambang apa."
"Tahu? Apa, coba!"
"Lingkungan." (hlm. 136)
Sebagai Dalang, berkali-kali AKS mengadakan pertunjukan wayang yang berisi pesan tentang lingkungan dan nasihat politik untuk para pejabat. Ki Abu Kasan Sapari memang tidak berpolitik, tapi ia sering membantu rakyat melalui wayang. Dalam novel ini seringkali menyajikan skenario wayangan yang ditulis oleh AKS. Salah satunya adalah skenario berjudul "Bambang Indra Gentolet Takon Bapa" pada halaman 65-81.
Seni adalah lambang. Cerita di bawah ini (Bambang Indra Gentolet) mengisahkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Itulah esensi demokrasi, kedaulatan rakyat, menurut dalang Ki Abu Kasan Sapari. Abu sadar betul bahwa wayang harus menghibur, jauh dari semboyan-semboyan politik, wayang harus tampak tanpa beban apa pun. (hlm. 65-66)
FYI, Kuntowijoyo memiliki darah seniman sekaligus ulama dalam tubuhnya. Dalam buku "Kuntowijoyo dan Karyanya" karya Wan Anwar, dikatakan bahwa Ayahnya adalah seorang dalang dan pembaca macapat, sedangkan Eyang Buyutnya seorang khathath (penulis mushaf Al-Qur'an). Maka, tidak heran jika dalam setiap karyanya, Kuntowijyo selalu menyisipkan pesan tentang sastra dan budaya Jawa, sekaligus dakwah agama Islam.

Soal benturan mistis dan Islam juga menjadi bagian dari cerita, terdapat pada halaman 256-259. Diceritakan AKS ingin membuang mantra penjinak ular karena kekasihnya tidak menyukai keberadaan ular sebagai klangenan. Eyang buyutnya mendatangi AKS dan merestuinya untuk meninggalkan mantra itu, sementara Kakek jubah putih yang menurunkan mantra itu memperingatkannya supaya jangan asal membuang mantra itu kalau tidak mau susah mati. Beruntung ada Haji Syamsuddin yang meneguhkan AKS untuk tetap menjadi orang beriman.
Eyang buyut:"Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra."
Kakek jubah putih:"Begini. Kau terikat dengan perjanjian. Mantra penjinak ular itu harus langgeng, diturunkan dari generasi ke generasi. Jadi kau tidak bisa membuang begitu saja. Saya dulu juga mencari orang yang cocok dengan ilmu itu sampai tua. Kau tidak akan mati-mati sebelum menurunkan ilmu itu. Mengerti?"
Haji Syamsuddin:"Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malahan kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi." (hlm. 258-259)
Tokoh AKS sekilas mirip dengan Wasripin (dalam novel "Wasripin dan Satinah") yang serba bisa dan menjadi pengayom masyarakat. Bedanya Wasripin kurang pendidikan, terlalu polos, dan menerima takdirnya yang tragis. Sementara AKS berpendidikan, pantang menyerah, dan syukurlah nasibnya lebih baik.

Seperti dalam "Wasripin dan Satinah", Partai Randu (mungkin maksudnya partai pemerintah zaman orba, partai lambang beringin) juga menjadi bagian utama dalam alur novel ini. Yang menjadi sedikit berbeda, jika dalam "Wasripin dan Satinah", nama Presiden Sadarto dijadikan alias untuk presiden orba, dalam novel ini, nama tersebut ditulis dengan gamblang, Presiden Soeharto.

Kuntowijoyo selalu menampilkan banyak kejutan dalam karya-karya. Dan inilah yang juga terdapat dalam "Mantra Penjinak Ular". Meskipun tidak selucu "Pasar", novel yang satu ini tetap menyajikan hal-hal yang menarik untuk direnungkan. Mari, lur-sedulur, bacalah, renungkanlah. :)

Catatan untuk editor dan penerbit: Meskipun dalam kata pengantar dikatakan sudah ada pengoreksian untuk redaksi, saya tetap menemukan banyak kesalahan yang tidak perlu. Ya, tidak perlu ada kesalahan lagi mengingat cetakan yang saya pegang saat ini adalah edisi cetak ulang dalam rangka peringatan ulang tahun penulis yang lahir pada 18 September 1943.

4 bintang.

Data buku

Judul: Mantra Penjinak Ular
Pengarang: Kuntowijoyo
Tebal: 274 halaman
Penerbit: Kompas; Cet. kedua, 2013 (Cet. pertama tahun 2003)
Be First to Post Comment !
Post a Comment

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Custom Post Signature