Judul diatas merupakan terjemahan langsung dari kalimat bahasa Perancis, ‘Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran‘. Kalimat tersebut merupakan judul dari sebuah kisah panjang (disebut naratif oleh sang pengarang karena jika disebut cerpen terlalu panjang dan jika disebut novel terlalu pendek jumlah halamannya) yang ditulis oleh Eric-Emmanuel Schmitt pada tahun 2003. Kalimat (baca: kisah panjang) tersebut pun juga di-remake dalam bentuk film dengan judul yang sama pada tahun 2004. Berikut cuplikan film yang berhasil mendapatkan beberapa penghargaan ini.
Berkisah tentang persahabatan antara Moses (Momo), seorang remaja dari keluarga Yahudi tulen berumur 16 tahun dengan Ibrahim, seorang Muslim pemilik toko grosir di jalan Rue Bleue, di pinggiran kota Paris, Perancis. Persahabatan mereka dimulai dengan percakapan-percakapan singkat di toko Ibrahim. Namun persahabatan ini malah berubah menjadi ikatan keluarga, ketika ayah Momo meninggal dan dirinya kemudian diadopsi oleh Ibrahim. Banyak hal-hal yang bisa dianalisa dari kisah fiksi ini. Namun saya berusaha memadatkan saja agar tulisan ini tidak terlalu panjang.
Schmitt, sang pengarang, terinspirasi dari percakapannya dengan Bruno Abraham-Kremer, temannya yang juga seorang aktor. Kremer bercerita tentang dirinya yang baru saja melakukan perjalanan ke Turki dan mereka sibuk berdiskusi mengenai sufi Islam dan Rumi dan juga syair-syairnya. Dan beberapa hari kemudian, hanya dengan obrolan tersebut, Schmitt menyelesaikan tulisan ini dan mengabarkannya kepada Kremer. Pada testimoninya mengenai tulisan ini, Schmitt mengatakan,
“What I wanted to prove was that in many places in the world (European capitals, ports, American cities, North African villages), people of different religion from different backgrounds live together in harmony. … Sadly, the news we get from journalists only reflects what is going wrong, never what is running smoothly. It thus perniciously reduces Jewish-Arab relations to the conflict between Israel and Palestine, neglecting areas of agreement and peaceful cohabitation and giving weight to idea of irremediable opposition. I don’t want to deny the tragedy of the conflict, but one shouldn’t confuse the world’s real sounds with a part of the world or with journalistic and political fury.”
Ya, begitulah pesan umum yang ingin disampaikan pengarang: Kebersamaan dan Kerhamonisan antar umat beragama. Dalam kisah ini yang disoroti (yang menjadi tokoh utama) adalah Islam dan Yahudi, yang terinspirasi dari tragedi Palestina yang diserang Israel sejak lama dan belum usai hingga tulisan ini dibuat. Salah satu tokoh utama, Ibrahim, yang digambarkan sebagai orang tua bijak berkata dalam salah satu dialognya: “Muslims just like Jews, Momo. It’s about the sacrifice of Abraham: he holds his child out to God, telling him may take him. That bit of skin that we don’t have is the mark of Abraham. At the circumcision, the father must hold his son, the father offers his own pain in memory of Abraham’s sacrifice.” Hmm, mungkin yang menjadi pesannya juga adalah Pluralism (Keberagaman). [*btw, akan disuspend sama MUI tak ya tulisan ini. Saya khawatir tulisan ini dianggap berbau pluralisme. ]
Kisah ini juga menceritakan tentang betapa teguhnya Ibrahim dalam ke-Islam-annya. Hal ini digambarkan melalui kata-katanya yang selalu diucapkan ketika menjawab pertanyaan Momo: “I know what is in my Koran”. Namun digambarkan juga hal yang kontras dalam sebuah kepercayaan. Misal, Ibrahim memang digambarkan sebagai orang bijak yang sangat percaya dengan firman Tuhannya, namun disamping itu ia juga tidak melarang dirinya untuk minum alkohol karena ia seorang sufi, begitu pengakuannya pada Momo. Contoh lain digambarkan lewat ayah Momo yang sangat Yahudi namun kepercayaannya terhadap Tuhan sudah mulai luntur. Simak percakapan Momo dengan ayahnya dibawah ini:
“But Dad, we’re Jews. Well, you and I, aren’t we?”“Yes.”“And being Jewish has nothing to do with God?”“For me it no longer does. Being Jewish is merely having memories. Bad memories.”
Pesan lainnya ialah mengenai kebahagiaan, kesetiaan, pemberian, cinta, dan kematian. Kita diminta untuk mempelajari semua bagian itu walau dari kematian sekalipun. Schmitt berkata lagi dalam testimoninya, “Monsieur Ibrahim teaches Momo essential things: to smile, to talk, not to move too much, and to look at women with a look that comes from the heart not from lust. He reveals to him a more contemplative universe and even teaches him to accept death”.
Sementara saya sendiri memiliki kutipan yang paling saya sukai dari dialog Monsieur Ibrahim, “What you give, Momo, is yours forever. What you keep is lost for all time”. Jadi benar memang bahwa hal-hal yang kita berikan kepada orang lain adalah seutuhnya milik kita. Pernahkah kita merasa senang setelah membantu orang lain? Nah, perasaan itu menunjukkan bahwa dalam memberi ada keindahan yang kita rasakan selain pahala dan balasan yang berlipat ganda dari Tuhan. Sebaliknya, apa yang kita tahan-tahan di sisi kita akan hilang begitu saja tanpa harga jika tidak ada manfaat yang kita lakukan dengannya.
Mungkin begitu ulasan saya yang agak panjang ini. Mohon maaf jika ada blogger yang kurang paham dengan postingan yang satu ini. Saya sedang mencoba sedikit serius dalam menganalisa tulisan dan film yang satu ini. Saya sendiri sangat suka dengan naratifnya dan sedikitnya sudah 3 kali membaca ulang sebelum menonton filmnya. Untuk teman-teman yang sudah menonton filmnya, namun belum membaca naratifnya, saya sarankan untuk membacanya. Karena jujur, naratifnya cukup bagus dan membuat daya kritis dan analisa kita begerak untuk berpikir dan berpikir.
tapi buku ini belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia?
ReplyDeleteemm, kurang tahu deh ya. coz aku bacanya masih teks berbahasa inggris.
Delete