Top Social

Kilas Buku: Belenggu

|


Sukartono, seorang dokter lulusan Geneeskundige Hooge School Betawi, sekolah dokter terkemuka di Betawi, sedang gundah. Ia tiada habis pikir tentang istrinya, Sumartini, akhir-akhir ini. Perempuan cantik itu selalu saja kusut air mukanya ketika melihat Tono.
Tini seolah-olah hendak menimbulkan marahnya saja. Adakah disengaja, pura-pura lalai? Sandalnya harus tetap didekat kerosi ini, kalau dia baru pulang, kalau di bloc-note tidak ada tertulis nama dan alamat orang, dia hendak terus saja duduk senang-senang,... (hal. 17)
Dalam beberapa minggu ini isterinya sudah biasa pergi, tidak meninggalkan pesan apa-apa. Kalau dia baru pulang, air mukanya, sikapnya seolah-olah menantang, menanti dokter Sukartono bertanya, dia kemana tadi, tetapi dokter Sukartono diam saja. (hal. 17)
Kegalauan Tono membawanya kepada seorang perempuan bernama Nyonya Eni (kemudian hari diketahui ia bernama asli Rohayah dan juga penyanyi dengan nama panggung Siti Hayati) yang pura-pura sakit dan hanya ingin merayu si dokter ke dalam buaiannya. Awalnya Tono kuat iman. Ia tetap berlaku sebagai dokter terhadap pasiennya. Namun kegundahan Tono terhadap Tini justru membawanya kembali kepada Rohayah, si bunga raya itu.
Dokter Sukartono senyum. Dia tahu rupanya aku akan datang kembali. "Dia.... mengharapkan aku datang," melintas lambat-lambat dalam hatinya.
Perempuan, sebenarnya perempuan. (hal. 32)
Pernikahan Tono dan Tini di ujung tanduk. Tono semakin terbuai oleh kemesraan Rohayah, sementara Tini menyibukkan diri dengan banyak kegiatan organisasinya. Kasak-kusuk tidak sedap tentang pernikahan mereka terdengar santer. Tono tiada mengerti karena asyik dengan bunga raya. Sementara Tini berusaha kuat dan maklum mengandung resiko kalau ia yang akan disalahkan sebagai penyebab retaknya rumah tangga mereka berdua.
"Saya yang akan disalahkan orang. Biarlah!" Kata Tini menyambung kalimat. (hal. 54)
Cerita mencapai klimaks ketika Tini menghampiri madu suaminya. Tini dan Yah beradu pandangan di sana. Banyak perkataan Yah yang membuat Tini merenung.
"Kalau engkau pelihara dia baik-baik, kauturut kemauannya, begitu juga kesukaannya yang kecil-kecil, tapi sangat dihargakannya, dia tiada akan datang kepadaku," (hal. 133)
Sementara itu Tono berdiskusi dengan paman Tini, Mangunkusumo, yang sudah mengetahui riak-riak rumah tangga mereka. Tono sempat setuju dengan usulan Mangunkusumo untuk berbaikan dengan Tini.
"Benarlah, Tono, siapa tahu nanti baik juga."
"Moga-moga demikianlah, paman."
"Besok kunasihati lagi Tini." (hal. 128)
Lalu apakah Tono akan kembali lagi kepada Tini, atau tetap berpaling menuju Rohayah? Apakah Tini juga tetap berkeinginan mempertahankan perkawinan mereka berdua? Dan bagaimana dengan Rohayah, apakah ia punya pilihan? Masing-masing karakter memiliki kebebasan untuk memilih jalannya.
Pintu kemakah itu! (hal. 150)

Psikoanalisis

Pada awalnya novel ini berjudul "Pintu Kemana?", seperti yang dikatakan Arjmin Pane dalam kata pengantar untuk cetakan keempat. Namun ketika akan diterbitkan oleh penerbit Pudjangga Baru tahun 1940, diubahlah judulnya menjadi "Belenggu".

Banyak pengamat sastra yang mengatakan novel Belenggu ini merupakan novel psikologis, dimana tokoh-tokoh utamanya memiliki karakter yang menarik untuk dibahas. Masing-masing dari mereka punya latar belakangnya dapat diteliti dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Arjmin Pane sendiri memang senang bereksperimen dengan mempermainkan perasaan para tokoh. Dibiarkannya para pembaca ikut andil, larut dalam cerita. Dan pada akhirnya, tidak ada solusi yang diberikan. Arjmin Pane menyerahkan semua keputusan kepada para pembaca.
Pintu kemanakah itu! (hal. 150)
Ya, pintu kemanakah itu yang akan mereka tuju. Boleh jadi Rohayah dan Tini akan berubah pikiran untuk tetap mempertahankan Tono. Lalu mereka akan berkelahi dan membiarkan Tono memilih. Boleh jadi juga Tono dan Tini bersedia memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk akur kembali dan melepaskan Yah pergi jauh ke negeri seberang. Boleh jadi juga Tini akan kembali kepada kekasih lamanya, Tono akan kembali juga kepada Rohayah, dan kemudian mereka berbahagia dengan pasangan baru masing-masing.

Semua itu tergantung imajinasi pembaca. Si pengarang sudah memberi asupan berupa latar belakang masalah dan karakter para tokoh. Dan ia membiarkan para pembacanya membuka pintu pilihannya masing-masing. Memang nasib orang tiada yang akan tahu, karena orang tersebut yang menentukannya sendiri. Begitulah kira-kira pesan Arjmin Pane yang saya tangkap.

Bahasa Indonesia peralihan

Membaca Belenggu berarti harus siap dengan tata bahasa peralihan. Jangan harap akan menemukan tata bahasa seperti yang biasa kita temukan dalam naskah terjemahan atau malah alay ala remaja masa kini . Novel "Belenggu" ini dibuat pada tahun 1930-an, sekitar lima belas tahun sebelum Indonesia merdeka. Ketika itu bahasa Indonesia belum seperti sekarang yang sudah punya berjilid-jilid KBBI. Bahasa Indonesia jaman itu masih dipengaruhi bahasa Belanda, dan juga bahasa daerah secara kental.

Arjmin Pane, dalam kata pengantarnya, berkata bahwa buku ini (Belenggu) baik bagi mereka yang ingin mempelajari sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Maka, daftar kata bahasa asing (maksudnya bahasa Belanda) yang semula hendak dihilangkan, tetap dibiarkan begitu saja. Supaya para pembaca dari angkatan milenia seperti kita ini dapat menelusuri permulaan bahasa Indonesia digunakan ketika itu.

Paus Sastra Indonesia, H.B, Jassin, juga mengatakan hal yang sama, bahwa "Belenggu" bukan untuk ditiru, melainkan untuk diperlihatkan kepada generasi masa depan bangsa Indonesia, betapa besar perjuangan yang ditempuh nenek moyangnya untuk mencapai kemajuan zaman.

Kesan

Karena saya lahir jauh setelah tahun 1940an, maka saya tidak akan memberi kritik tentang "Belenggu". Saya hidup dewasa pada zaman lubernya informasi. Sebagian besar penduduk Indonesia sudah mafhum dengan adanya keterbukaan informasi, bahkan tentang isu retaknya rumah tangga orang sekalipun. Maka saya tidak akan menganggap "Belenggu" sebagai novel tabu karena membuka perasaan para tokohnya tentang tema perselingkuhan, atau sebagai novel porno karena memakai  bunga raya (sekarang disebut dengan pelacur) sebagai tokoh utama.

Bagi saya "Belenggu" adalah sastra yang berani pada zamannya. Sehingga banyak kritik yang dituai ketika itu. Malah penerbit sekelas Balai Pustaka tidak mau menerbitkannya sebagai buku. Pada akhirnya, buku ini malah dianggap sebagai novel romansa modern pertama di Indonesia.

Buku ini memang menjadi rekomendasi wajib bagi para pembaca yang ingin mengenal sejarah sastra Indonesia. Masih banyak celah yang dapat dibahas bersama. Akhir kata, selamat menyelami dunia romansa ala klasik modern pra kemerdekaan Indonesia.

Data buku

Judul: Belenggu
Penulis: Arjmin Pane
Cover: Damang C. Sarumpaet
ISBN: 979-523-046-8
Format: Paperback
Cetakan ke-: duapuluh dua, 2010
Tebal: 159 halaman
Penerbit: Dian Rakyat

Be First to Post Comment !
Post a Comment

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Custom Post Signature